BAB
1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Abu Ubaidah telah menoreh di lembaran sejarah
judul-judul penting yang senantiasa dituliskan oleh para ahli sejarah sepanjang
masa dan tidak pernah lepas dari ingatan tentang berbagai kebanggaan yang
dielu-elukan oleh sebagian penggalan sejarah atas sebagian yang lain, dan
mencatatkan di lembaran kemuliaan umat Islam sifat-sifat paling indah dari para
pemilik kesempurnaan dan gambaran terbaik tentang kepahlawanan dan pengorbanan
serta perjalanan terindah para komandan yang menghiasi peradaban kita pada masa
awal.
Maka sejarah senantiasa menjaganya dan
menjadikannya menara yang menunjukkan jalan bagi generasi umat berikutnya agar
tersambung dengan para pendahulunya, agar bangunan Islam tetap berdiri kokoh
untuk menebar kebaikan, dan supaya menjadi bukti atas keluhuran ajaran agama
ini, kemuliaan misinya, perbedaan yang dimilikinya dalam hal petunjuk, dan
penjelasan tentang kepatutannya untuk memimpin kemanusiaan kembali untuk
menyelamatkannya dari kejatuhannya dan menyelamatkannya dari bahaya yang
mengancamnya atas nama kebebasan, kemajuan, peradaban, dan hak asasi manusia.
Kita tidak perlu merangkai kata-kata indah
atau membuat puisi pujian untuk Abu Ubaidah. Karena kata-kata indah dari
penyair tidak akan mampu menggambarkan kemuliaan dan keutamaan yang telah
ditorehkan oleh Abu Ubaidah dengan tindakannya yang luar biasa. Sejak dia
menyatakan keislamannya dan bergabung bersama kelompok orang-orang yang paling
dahulu masuk Islam, hingga takdir menetapkan kematiannya dengan mati syahid
akibat penyakit kusta yang mewabah di Yordania pada tahun 18 Hijriah.
Jika engkau mengikuti perjalanan hidupnya,
engakau akan mendapatinya di antara orang-orang yang paling dahulu masuk Islam,
lalu bersama orang-orang yang hijrah ke Habasyah dan Madinah. Jika engakau
melihat kisah peperangan, akan engkau dapati dia bersama para pejuang dan
pahlawan, bersama pasukan dan utusan Rasulullah SAW. Engkau akan semakin takjub
dengannya ketika pemilihan Nabi atas dirinya untuk diutus bersama penduduk Yaman
sebagai guru dan pendidik, diutus ke Bahrain untuk mengumpulkan sedekah dan
menjaga harta, setelah sebelumnya dia mendapat julukan dari Nabi sebagai
kepercayaan umat ini. Keutamaan dirinya semakin sempurna dengan adanya kabar
gembira dari Nabi, kabar gembira yang diidam-idamkan oleh setiap orang mukmin,
yaitu ketika Nabi memasukkan namanya ke dalam deretan pemuka shahabat yang
mendapat jaminan masuk surga. Sebuah kemenangan yang besar. Mari kita ikuti
kabar gembira tersebut yang dicatat oleh sejarah sebagai keutamaan Abu Ubaidah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana biografi dari Abu
Ubaidah bin Al-Jarrah ?
2. Apa saja sifat-sifat yang dimiliki
oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ?
3. Bagaiamana kisah dari akhir
riwayat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ?
C. TUJUAN MASALAH
1. Agar menambah wawasan pengetahuan
yang dimiliki oleh pembaca
2. Dapat meneladani sifat-sifat yang
dimiliki oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah
3. Untuk menumbuhkan rasa bangga
terhadap sejarah-sejarah mengenai sahabat-sahabat Rasululloh SAW.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI ABU UBAIDAH BIN AL-JARRAH
Abu Ubaidah Amir bin Abdullah bin Al Jarrah
bin Hilal bin Uhaib bin Dhabbah bin Al Harits bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr
bin Kinanah. termasuk orang yang pertama masuk Islam, beliau memeluk Islam
selang sehari setelah Sayyidina Abu Bakar As Shiddiq memeluk Islam. Beliau
masuk Islam bersama Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Mazun dan Arqam bin Abu
al-Arqam, di tangan Abu Bakar as Shiddiq. Sayyidina Abu Bakar yang membawakan
mereka menemui Rasulullah saw untuk menyatakan syahadat di hadapan Baginda.
Kualitasnya dapat kita ketahui melalui sabda Nabi saw:
إِنَّ لَكُمْ
أُمَّةً أَمِيْنًا، وَإِنَّ أَمِيْنَ هذِهِ اْلأُمَّةِ أَبُوْ عُبَيْدَةَ بْنُ
اْلجَرَّاحِ
“Sesungguhnya setiap umat mempunyai orang
kepercayaan, dan kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”
Abu Ubaidah bin Jarrah lahir di Mekah, di
sebuah rumah keluarga suku Quraisy terhormat. Nama lengkapnya adalah Amir bin
Abdullah bin Jarrah yang dijuluki dengan nama Abu Ubaidah. Ayah dari Abu
Ubaidah adalah Abdullah bin al-Garrah bin Hilal dan ibunya bernama Umaimah bint
Osman bin Jaber. Abu Ubaidah adalah seorang yang berperawakan tinggi, kurus,
berwibawa, bermuka ceria, rendah diri dan sangat pemalu. Beliau termasuk orang
yang berani ketika dalam kesulitan, beliau disenangi oleh semua orang yang
melihatnya, siapa yang mengikutinya akan merasa tenang. Wajahnya mudah sekali
berkeringat, kedua gigi serinya tanggal, dan tipis rambut jenggotnya. Dia
memiliki dua orang anak yang bernama Yazid dan Umair. Kedua anak itu merupakan
buah hatinya dengan sang istri yang bernama Hindun bin Jabir. Namun, keduanya
telah meninggal dunia sehingga dia tidak lagi memiliki keturunan.
Dalam kehidupannya sebagai Muslim, Abu Ubaidah mengalami masa penindasan
yang kejam dari kaum Quraiys di Makkah sejak permulaan sampai akhir. Dia turut
menderita bersama kaum Muslimin lainnya. Walau demikian, ia tetap teguh
menerima segala macam cobaan, tetap setia membela Rasulullah SAW dalam tiap
situasi dan kondisi apa pun.
Kehidupan beliau tidak jauh berbeda dengan kebanyakan
sahabat lainnya, diisi dengan pengorbanan dan perjuangan menegakkan Agama
Islam. Hal itu tampak ketika beliau harus hijrah ke Ethiopia (Habasyi) pada
gelombang kedua demi menyelamatkan aqidahnya. Namun kemudian beliau kembali
lagi untuk menyertai perjuangan Rasulullah saw.Abu
Ubaidah bin Al-Jarrah mendapat julukan Aminul Ummah (Orang yang dipercaya bagi
kaumnya) dan Amirul Umaro (pemimpin para pemimpin) dari Rosulullah Saw. Julukan
tersebut diberikan oleh Rosulullah Saw berkenaan dengan suatu peristiwa dimana
pada suatu hari delegasi Najran dari Yaman datang untuk menyatakan keislaman
mereka, dan meminta kepada Nabi SAW agar mengutus bersama mereka orang yang
mengajarkan kepada mereka al-Qur’an, Sunnah dan Islam, maka Nabi SAW mengatakan
kepada mereka, “Aku benar-benar akan mengutus bersama kalian seorang pria yang
sangat dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar
orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya.” Semua
sahabat berharap bahwa dialah yang bakal dipilih oleh Rasulullah SAW termasuk
Umar bin Khattab. Ternyata persaksian ini menjadi keberuntungannya. Setelah
Rosulullah Saw melaksanakan sholat dzuhur bersama para sahabat, beliau menengok
ke kanan dan ke kiri hingga pandangannya tertuju pada Abu Ubaidah dan beliau
meminta Abu Ubaidah untuk pergi bersama mereka. Pada watku beliau Abu Ubaidah
berdiri, Rasulullah bersabda; “Inilah orang kepercayaan umat Islam.”
B. ADAB DAN AKHLAK ABU UBAIDAH BIN
AL-JARRAH
Sifat-sifat yang dimiliki oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah
sudah tidak bisa dipungkiri lagi. Banyak sekali dari sifat-sifat beliau yang
dapat kita teladani, yakni diantaranya :
1.
Jujur
Abu Ubaidah
bin Al-Jarrah merupakan orang yang paling dipercaya pada masanya. Bahkan Abu
Ubaidah bin Al-Jarrah dijuluki Amirul Ummah atau orang yang dipercaya.
Suatu ketika datang sebuah delegasi dari kaum Kristian menemui Rasulullah
SAW. Mereka mengatakan, “Ya Abul Qassim!
Kirimkanlah bersama kami seorang sahabatmu yang engkau percayai untuk menyelesaikan
perkara kebendaan yang sedang kami pertengkarkan, kerana kaum muslimin di
pandangan kami adalah orang yang disenangi.” Rasulullah s.a.w. bersabda kepada
mereka, “Datanglah ke sini petang nanti, saya akan kirimkan bersama kamu
seorang yang gagah dan jujur.”
Dalam kaitan
ini, Saidina Umar bin Al-Khattab ra mengatakan, “Saya berangkat tergesa-gesa
untuk menunaikan solat Zohor, sama sekali bukan kerana ingin ditunjuk sebagai
delegasi. Setelah Rasulullah selesai mengimami solat Zohor bersama kami, beliau
melihat ke kiri dan ke kanan. Saya sengaja meninggikan kepala saya agar beliau
melihat saya, namun beliau masih terus membalik-balik pandangannya kepada kami.
Akhirnya beliau melihat Abu Ubaidah bin Jarrah, lalu beliau memanggilnya sambil
bersabda, ‘Pergilah bersama mereka, selesaikanlah kes yang menjadi perselisihan
di antara mereka dengan adil.’ Lalu Abu Ubaidah pun berangkat bersama mereka.”
Rasulullah
s.a.w. bersabda:
“Sesungguhnya
dalam setiap kaum terdapat orang yang jujur. Orang yang jujur di kalangan
umatku adalah Abu Ubaidah al Jarrah.”
Dalam hadis
yang lain Rasulullah s.a.w. bersabda lagi.
“Tiap-tiap
umat ada orang yang memegang amanah. Dan pemegang amanah umat ini ialah Abu
Ubaidah al Jarrah.”
2.
Kuat, Gagah
dan Berani
Abu ubaidah merupakan orang yang pertama kali masuk islam .pada
saat itu abu ubaidah berusia 41 tahun. Abu ubaidah juga ikut serta dalam
berbagai peperangan. Salah satu diantara peperanag yan di ikuti abu ubaidah bin
jarrah adalah perang bada,yaitu perang pertama antara kaum muslimin dan kaum
kafir.Pada saat itu Abu ubaidah mersakan penderitaan yang membuat ia saikt dan kesedihan yang tidak pernah dirasakan oleh pengikut agama di muka bumi
ini.Namun ia tetap tegar menghadapi ujian ini,yang senantiasa mentaati dan
membenarkan ALLAH dan Rosaul nya dalam segala kondisi.
Ujian terberat yang di alami abu ubaidah di saat perang Badar ketika keimanan nya di uji oleh ALLAH SWT
saat ia menyerang di antara barisan dengan begitu kuat dan berani.abu ubaidah
sebagai tentara tentu saja ia patuh kepada panglimanya yaitu Rosulullah saw
.dalam hati abu ubaidah ia berkeyakinan bahwa semua ornag yang berperang di
bawah panji rosulullah adalah saudara.sebaliknya semua yang berperang di bawah
bendera Quraisy adalah musuh,meskipun
mereka adalah keluarga terdekatnya.maka ketika dilihatnya sang ayah yang kafir
ia tetap kuat dan berani untuk memerangi dan membunuh nya setelah ia tahu bahwa
sang ayah telah membunuh saudara-saudarnya seiman.bergejolaklah dalam hatinya
sebagai seorang anak dan seorang muslim ia merubah sikap.dengan keyakinan yang
kuat dan berani ia menghadapi ayah nya sebagai musuh yang patut di perangi.
Kemudian
Abu Ubaidah mendekati kuda ayahnya dan berkata “wahai ayah bertobatlah.
Sadarila bahwa jalan yang engkau tempuh itu adalah jalan yang sesat. Ikutlah
bersama ku, dan jadilah keluargaku dalam iman.”. ‘’anak kurang ajar!!, bukan
untuk inilah aku besarkan. Sungguh, jika aku tahu akan begini jadinya, sejak
dari dulu sudah aku bunuh, dasar anak durhaka,”. Teriak ayahnya sambil terus
menghantamkan pedangnya. “kalau ayah tidak menuruti nasihatku, maafkan saya
jika terpaksa melawan ayah.” Kata Abu Ubaidah masih dalam nada yang lembut.
“apa, kamu menantangku? Dasar anak tak tau di untung, ayo maju, biar sekalian
ku penggal kepala mu seperti teman-teman mu!. Dengan kuat dan berani, yang
diiringi keimanan maka Abu Ubaidah pun menerjang dan menghantamkan pedang
ditangannya tanpa ragu-ragu. Keduanya salinng memukul, menangkis dan saling
menusukkan pedang masing-masing sehinga Abu Ubaidah membelah kepala ayahnya menjadi dua. Lalu
Ubaidah berkata sambil menatap tubuh ayahnya yang terpakai bersimbah darah, “
maafkan saya ayah.” Sedih, pasti. Sebab bagaimanapun laki-laki yang sedang
dirobohkannya itu ayahnya, orang yang pernah yang mengasih dan membesarkannya.
Dalam hatinya, tidak berniat membunuh ayahnya melainkan membunuh kemusyrikan
ayahnya.
Berkenaan
dengan kasus Abu Ubaidah ini, Allah SWT berfirman:
لَاتَجِدُقَوْمًايُؤْمِنُونَبِاللَّهِوَالْيَوْمِالْآخِرِيُوَادُّونَمَنْحَادَّاللَّهَوَرَسُولَهُوَلَوْكَانُواآبَاءَهُمْأَوْأَبْنَاءَهُمْأَوْإِخْوَانَهُمْأَوْعَشِيرَتَهُمْ
ۚ أُولَٰئِكَكَتَبَفِيقُلُوبِهِمُالْإِيمَانَوَأَيَّدَهُمْبِرُوحٍمِنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْجَنَّاتٍتَجْرِيمِنْتَحْتِهَاالْأَنْهَارُخَالِدِينَفِيهَا
ۚ رَضِيَاللَّهُعَنْهُمْوَرَضُواعَنْهُ ۚ أُولَٰئِكَحِزْبُاللَّهِ ۚ أَلَاإِنَّحِزْبَاللَّهِهُمُالْمُفْلِحُونَ
"Kamu tak
akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan
keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang
daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan
merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan
Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang
beruntung." (QS
Al-Mujaadalah: 22)
Ayat tersebut
tidak membuat Abu Ubaidah besar kepala dan membusungkan dada. Bahkan menambah
kokoh imannya kepada Allah dan ketulusannya terhadap agama-Nya. Orang yang
mendapatkan gelar "kepercayaan umat Muhammad" ini ternyata menarik
perhatian orang-orang besar, bagaikan magnet yang menarik logam di sekitarnya.
Dalam riwayat
lain sifat kuat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika dalam perang Uhud, pasukan
muslimin kucar kacir dan banyak yang lari meninggalkan pertempuran, justeru Abu
Ubaidah bin Jarrah berlari untuk mendapati Nabinya tanpa takut sedikit pun
terhadap banyaknya lawan dan rintangan. Demi didapati pipi Nabi terluka, yaitu
terhujamnya dua rantai besi penutup kepala beliau, segera ia berusaha untuk
mencabut rantai tersebut dari pipi Nabi saw.
Abu Ubaidah
bin Jarrah mulai mencabut rantai tersebut dengan gigitan giginya. Rantai itu
pun akhirnya terlepas dari pipi Rasulullah saw. Namun bersamaan dengan itu pula
gigi seri Abu Ubaidah bin Jarrah ikut terlepas dari tempatnya. Abu Ubaidah bin
Jarrah tidak jera. Diulanginya sekali lagi untuk mengigit rantai besi satunya
yang masih menancap dipipi Rasulullah saw hingga terlepas. Dan kali ini pun
harus juga diikuti dengan lepasnya gigi Abu Ubaidah bin Jarrah, sehingga dua
gigi seri sahabat ini ompong karenanya. Sungguh, satu keberanian dan
pengorbanan yang tak tergambarkan.
3.
Pintar, Cerdas
dan Cerdik
Tatkala
datang perutusan Najran dari Yaman menyatakan keislaman mereka dan meminta
kepada Nabi agar dikirim bersama mereka seorang guru untuk mengajarkan
Al-Qur'an dan As-Sunnah serta seluk beluk agama Islam, maka ujar beliau: "Baiklah,
akan saya kirim bersama Tuan-Tuan seorang yang terpercaya, benar-benar terpercaya,
benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya."
Para
sahabat mendengar pujian yang keluar dari mulut Rasulullah saw ini, dan
masing-masing berharap agar pilihan agar jatuh kepada dirinya, sampai beruntung
beroleh pengakuan dan kesaksian yang tak dapat diragukan lagi kebenarannya.
Umar bin
khattab menceritakan peristiwa itu sebagai berikut: "Aku tak
pernah berangan-angan menjadi amir, tetapi ketika itu aku tertarik oleh ucapan
beliau dan mengharapkan yang dimaksud beliau itu adalah aku. Aku cepat-cepat
berangkat untuk shalat dhuhur. Dan tatkala Rasulullah selesai mengimami
kami shalat dhuhur, beliau memberi salam, lalu menoleh ke sebelah kanan dan
kiri.Maka saya pun mengulurkan badan agar terlihat oleh beliau. Tetapi ia
juga masih melayangkan pandangannya menacari-cari, sampai akhirnya tampaklah
Abu 'Ubaidah, maka dipanggilnya, lalu sabdanya: "Pergilah
berangkat bersama mereka dan selesaikanlah apabila terjadi perselisihan di
antara mereka dengan haq." Maka Abu 'Ubaidah
berangkatlah bersama orang-orang itu.
4.
Sabar
Diriwayatkan
dari Hisyam bin Sa’ad, dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, ia berkata: Umar
mendengar kabar bahwa Abu Ubaidah terkepung di Syam dan hampir dikalahkan
musuh. Umar bin Khaththab pun mengirim surat kepadanya yang berisi, “Amma ba’du.
Sesungguhnya setiap kesukaran yang menimpa seorang mukmin yang teguh maka
sesudahnya akan ada jalan keluar. Satu kesukaran tidak bisa mengalahkan dua
kemudahan. Allah berfirman.
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُوااصْبِرُواوَصَابِرُواوَرَابِطُواوَاتَّقُوااللَّهَلَعَلَّكُمْتُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah
supaya kamu beruntung’.” (Qs. Aali ‘Imraan [3]: 200)
Setelah
membaca surat tersebut, Abu Ubaidah lalu membalasnya sebagaimana berikut, “Amma
ba’du. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
اعْلَمُواأَنَّمَاالْحَيَاةُالدُّنْيَالَعِبٌوَلَهْوٌوَزِينَةٌوَتَفَاخُرٌبَيْنَكُمْوَتَكَاثُرٌفِيالْأَمْوَالِوَالْأَوْلَادِ
ۖ كَمَثَلِغَيْثٍأَعْجَبَالْكُفَّارَنَبَاتُهُثُمَّيَهِيجُفَتَرَاهُمُصْفَرًّاثُمَّيَكُونُحُطَامًا
ۖ وَفِيالْآخِرَةِعَذَابٌشَدِيدٌوَمَغْفِرَةٌمِنَاللَّهِوَرِضْوَانٌ ۚ وَمَاالْحَيَاةُالدُّنْيَاإِلَّامَتَاعُالْغُرُورِ
”Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga
akan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan
para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan
ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain
hanyalah kesenangan yang menipu’.” (Qs. Al Hadiid [57]: 20).
Umar bin
Khaththab kemudian keluar dari rumahnya beserta surat tersebut dan membacanya
di atas mimbar seraya berkata, “Wahai penduduk Madinah, sungguh Abu Ubaidah
telah mendorong kalian, maka berjihadlah bersamaku!”
Tsabit Al
Bunani berkata, “Abu Ubaidah berkata, ‘Aku adalah orang Quraisy dan tiada
seorang pun yang berkulit merah maupun hitam di antara kalian yang
mengungguliku dalam ketakwaan kecuali aku ingin menjadi sepertinya’.”
Sifat sabar
yang dimiliki oleh Abu Ubaidah yakni bertahan bersama pasukannya
menghadapi wabah tha’un dan seruannya kepada mereka untuk tetap sabar dan
beriman
Pada tahun 18 Hijriyah, Umar bin Khattab mengirim bala
tentara ke Jordania yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Jarrah, kemudian tentara
tersebut tinggal di ‘Amwas, Jordan, hingga terjangkit penyakit kusta saat bala
tentara tinggal disana. Ketika Umar bin Khattab mendengar hal demikian, beliau
menulis surat kepada Abu Ubaidah bin Jarrah. Amirul mukminin umar ingin menarik
Abu Ubaidah dan membawanya kembali bersamanya di madinah karena ia membutuhkan tenaganya
dalam mengatur urusan negara dan memimpin penaklukan-penaklukan lainnya serta
menyebarkan islam. Namun Abu Ubaidah memilih untuk bersabar bersama pasukannya
dalam menghadapi ujian, agar ia menjadi pemimpin sekaligus teladan yang baik
bagi mereka dalam susah maupun senang, dalam kelapangan dan kesulitan, dan
dalam menghadapi pertempuran ataupun cobaan yang lainnya. Ia mengharapkan
syahid yang jika tidak mendatangi melalui dentingan pedang maka ia mengharapkan
takdir akan membawakannya melalui wabah penyakit yang korbannya pun terhitung
sebagai syahid. Maka ia memohon maaf kepada Amirul Mukminin dan memintanya
untuk membebaskannya dari perintahnya untuk mendatanginya. Ia menulis surat
kepadanya,
“saat ini aku
berada ditengah pasukan kaum muslimin dan aku tidak akan mementingkan diriku
dari mereka. Sesungguhnya aku telah memahami kebutuhan yang engkau maksud dari
permintaanmu, dan bahwa engkau ingin mempertahankan seorang yang tidak akan
kekal. Maka jika suratku ini sampai ke tanganmu maka bebaskanlah aku dari
perintahmu dan izinkanlah aku untuk tetap menetap disini.”
Lalu Abu Ubaidah berdiri dihadapan pasukannya dan
memotivasi mereka untuk tetap bersabar dalam menghadapi wabah tersebut. Ia
menghibur mereka atas musibah yang menimpa mereka, dan memberi mereka kabar
gembira bagi mereka yang menjadi korban karena wabah penyakit tersebut.
Dari Syahar bin Hausyah Al-Asy’ari, dari ayah tirinya
seorang laki-laki dari kaumnya yang menikahi ibunya setelah ayahnya ikut dalam
pasukan yang menghadapi tha’un amawas- ia berkata, ketika wabah penyakit sedang
mengganas, abu ubaidah berdiri di depan pasukan dan berkhutbah, ia berkata:
“wahai manusia,
sesungguhnya penyakit ini adalah rahmat bagi kalian, dan merupakan doa dari
nabi kalian, serta kematian orang-orang shalih sebelum kalian. Sesungguhnya abu
ubaidah memohin kepada allah untuk memberinya sedikit dari bagiannya.” Ia
berkata, “dan ia pun terkena penyakit tersebut dan wafat, semoga allah
merahmatinya.”
Ketika ditimpa penyakit tha’un, Abu Ubaidah dirawat
oleh istrinya. Penyakit tha’un terus menyebar di pasukan kaum muslimin, virus
nya menjangkiti mereka, dan merenggut banyak korban dari mereka. Ajal pun
semakin dekat kepada penakluk besar negeri Syam Abu Ubaidah. Wabah tersebut
mulai menyerangnya, dan memasuki tubuhnya melalui telapak tangannya. Wabah
tersebut terus menyebar, dan tidak ada cara untuk menghindarinya.
Diriwayatkan dari Syahar bin Hausyab ia berkata,
Abdurrahman bin Ghanim menceritakan kepadaku dari Al-Harits bin Amirah, “Bahwasanya Mu’adz bin Jabal memegang
tangannya dan mengirimnya kepada Abu Ubaidah bin Jarrah untuk menanyakan
kabarnya, dan saat itu mereka berdua telah menderita penyakit tersebut. Lalu
Abu Ubaidah memperlihatkan kepadanya luka yang telah menyerang telap tangannya.
Keadaan tersebut sangat berat bagi Al-Harits dan merasa prihatin atas apa yang
dilihatnya. Namun Abu Ubaidah bersumpah bahwa keadaan tersebut lebih ia sukai
daripada unta merah.”
Dalam sakit yang merenggut nyawanya tersebut ia
berdiam di tempat istrinya beberapa lama, sambil menunggu kepergiannya menuju
keabadian, dan bertemu dengan orang-orang yang dicintainya, Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya yang telah mendahuluinya
menuju kemuliaan. Abu Ubaidah melihat kembali kehidupan yang telah dilaluinya dengan
berbagai amal yang agung, dan kehidupan yang telah dilaluinya dengan berbagai
amal yang agung, dan berharap Allah akan menerima amal-amal tersebut. Ia
khawatir kalau-kalau amal tersebut dicemari oleh penyakit riya’ yang akan
mengurangi pahalanya dan bahkan menghilangkannya. Ia juga memeriksa dosa-dosa
yang pernah dilakukannya. Hatinya bergetar takut membayangkan hari perhitungan
dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepadanya kelak. Namun ia kembali
merasa tenang karena yakin bahwa cobaan yang menimpanya saat itu akan menghapus
dosa-dosanya dan menjadi pengampunan baginya.
Diriwayatkan
oleh Al-Walid bin Abdurrahman, dari Iyadh bin Ghuthaif ia berkata, “Kami
mendatangi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah pada sakitnya, istrinya Tuhaifah sedang
duduk di dekat kepalanya, sementara wajahnya melihat ke arah dinding. Aku
berkata, “Bagaimanakah Abu Ubaidah menghabiskan malamnya dengan pahala.” Maka
Abu Ubaidah berkata, “Demi Allah, sungguh
aku tidak menghabiskan malamku dengan pahala.” Dan ia merasa bahwa perkataannya
tidak mengenakkan bagi tamu-tamu nya, maka ia berkata, “Tidakkah kalian bertanya tentang ucapanku?” mereka berkata, “Kami tidak merasa kaget dengan ucapanmu,
kenapa kami harus bertanya?” ia berkata, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
berkata, “siapa yang meninfakkan hartanya di jalan Allah, maka dibalas dengan
tujuh ratus kali lipat, dan barang siapa yang menginfakkan hartanya untuk
keluarganya, atau mengunjungi orang yang sakit atau memilih untuk menanggung
penyakit, maka satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Puasa
adalah tameng selama ia tidak merusaknya. Dan siapa diuji Allah dengan sebuah
cobaan di tubuhnya, maka itu terjadi penghapus atas dosa-dosanya.”
Demi Allah, wahai Abu Ubaidah Setelah catatan yang
penuh dengan pekerjaan yang mulia tersebut, bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam yang lebih dari dua puluh tahun, kemudian diikuti dengan tujuh tahun
yang diisi dengan jihad yang tak pernah putus dan berbagai penaklukan yang
terus menerus, dan juga jaminan surge untuknya, dan kesaksian Rasulullah bahwa
ia adalah orang yang paling percaya dari umat ini, setelah akan mengampuni apa
yang tidak diketahuinya dan juga tidak diketahu oleh orang lain. Dan ia masih
berharap Allah menjadikan penyakit tha’un tersebut sebagai syahid baginya dan
pengampunan atas dosa-dosanya.
Inilah jiwa seorang mukmin. Jiwa yang takwa dan suci,
yang tunduk dan merendahkan hatinya. Yang mengenal Allah dengan
sebenar-benarnya, serta menghoarmati Allah dengan semestinya. Adapun
orang-orang yang telah tertipu dan tidak mengenal Allah kecuali amat sedikit,
dan tidak menyadari berapa banyak keikhlasan mereka dalam hal yang sedikit
tersebut, lalu berani menguntai banyak harapan bahwa mereka akan di panggil
melalui pintu surga yang delapan; sesungguhnya mereka berada dalam bahaya yang
amat besar. Adapun Abu Ubaidah dan saudara-saudaranya yang terdidik dalam
madrasah kenabian, maka mereka mempunyai kedudukan yang berbeda, dan kisah yang
menakjubkan.
5.
Mulia, Santun
dan Tawaddhu’
Dalam musyawarah pemilihan Khalifah yang
pertama (Yaumu s-saqifah), ‘Umar bin Khaththab mengulurkan tangannya kepadà Abu
‘Ubaidah seraya berkata, “Saya memilih Anda dan bersumpah setia dengan Anda.
Kerana saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:.
“Sesungguhnya
tiap-tiap ummat mempunyai orang dipercayai. Orang yang paling dipercaya dan
ummat ini adalah Anda (Abu ‘Ubaidah).”
Jawab Abu
‘Ubaidah, “Saya tidak mau mendahului orang yang pernah disuruh Rasulullah untuk
mengimami kita shalat sewaktu beliau hidup (Abu Bakar). walaupun sekarang
beliau telah wafat, marilah kita imamkan juga dia.”
Akhirnya
mereka sepakat memilih Abu Bakar inenjadi Khalifah Pertama, sedangkan Abu
‘Ubaidah menjadi penasihat dan pembantu utama bagi Khalifah.
Setelah Abu Bakar, jabatan khalifah pindah ke tangan ‘Umar bin Khatthab Al-Faruq. Abu ‘Ubaidah selalu dekat dengan ‘Umar dan tidak pernah membangkang perintahnya, kecuali sekali. Tahukah Anda, perintah Khalifah ‘Umar yang bagaimanakah yang tidak dipatuhi Abu Ubaidah? Peristiwa itu terjadi ketika Abu ‘Ubaidah bin Jarrah memimpin tentara muslimin menaklukkan wilayah Syam (Syria). Dia berhasil memperoleh kemenangan demi ke menangan berturut-turut, sehingga seluruh wilayah Syam takluk ke bawah kekuasaannya sejak dan tepi sungai Furat di sebelah Timur sampai ke Asia Kecil di sebelah Utara
Setelah Abu Bakar, jabatan khalifah pindah ke tangan ‘Umar bin Khatthab Al-Faruq. Abu ‘Ubaidah selalu dekat dengan ‘Umar dan tidak pernah membangkang perintahnya, kecuali sekali. Tahukah Anda, perintah Khalifah ‘Umar yang bagaimanakah yang tidak dipatuhi Abu Ubaidah? Peristiwa itu terjadi ketika Abu ‘Ubaidah bin Jarrah memimpin tentara muslimin menaklukkan wilayah Syam (Syria). Dia berhasil memperoleh kemenangan demi ke menangan berturut-turut, sehingga seluruh wilayah Syam takluk ke bawah kekuasaannya sejak dan tepi sungai Furat di sebelah Timur sampai ke Asia Kecil di sebelah Utara
Sementara itu,
di negeri Syam berjangkit penyakit menular (Tha’un) yang amat berbahaya, yang
belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga korban berjatuhan. Khalifah ‘Umar
datang dan Madinah , sengaja hendak menemui Abu ‘Ubaidah. Tetapi ‘Umar tidak
dapat masuk kota kerana penyakit yang sedang mengganas itu. Lalu ‘Umar menulis
surat kepada Abu ‘Ubaidah sebagai berikut:
“Saya sangat
penting bertemu dengan Saudara. Tetapi saya tidak dapat menemui Saudara kerana
wabak penyakit sedang berjangkit dalam kota. Kerana itu bila surat ini sampai
ke tangan Saudara malam hari, saya harap Saudara berangkat menemui saya di luar
kota sebelum Subuh. Dan bila surat ini sampai ke tangan siang hari, saya harap
Saudara berangkat sebelum hari petang.”
Setelah surat
Khalifah tersebut dibaca Abu ‘Ubaidah, dia berkata, “Saya tahu maksud Amirul
Mu’minin memanggil saya. Beliau ingin supaya saya menyingkir dari pe nyakit
yang berbahaya ini.”
Lalu
dibalasnya surat Khalifah, katanya; “Ya, Amirul Mu’minin! Saya mengerti maksud
Khalifah memanggil saya. Saya berada di tengah-tenciah tentara muslimin, sedang
bertugas memimpin mereka. Saya tidak ingin meninggalkan mereka dalam bahaya
yang mengancam hanya untuk menyelamatkan diri sendiri. Saya tidak ingin
berpisah dengan mereka, sehingga Allah memberi keputusan kepada kami semua
(selamat atau binasa). Maka bila surat ini sampai ke tangan Anda, ma’afkanlah
saya tidak dapat memenuhi permintaan Anda, dan beri izinlah saya untuk tetap
tinggal bersama-sama mereka.”
Setelah
Khalifah ‘Umar selesai membaca surat tersebut, beliau menangis sehingga air
matanya meleleh ke pipinya. Kerana sedih dan terharu melihat Umar menangis,
maka orang yang disamping beliau bertanya, “Ya, Amiral Mu’ minin! Apakah Abu ‘Ubaidah
wafat?”
“Tidak!” jawab
‘Umar. “Tetapi dia berada di ambang kematian.”
Dalam riwayat
lain disebutkan sifat santunnya ketika terjadi terjadilah perang Fihl dan
perang Maraj Ash-Shuffar. Pada saat itu Abu Bakar telah memberangkatkan pasukan
yang dipimpin Khalid bin Al Walid untuk menaklukkan Irak. Kemudian beliau
mengutus seorang delegasi untuk menemui Khalid bin Al Walid agar berkenan
membantu pasukan yang sedang bertugas di Syam.
Dia lalu
memotong jalan padang pasir, sedangkan Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika itu
menjabat sebagai panglima tertinggi dari semua pasukan. Ketika pasukan Islam
mengepung Damaskus, Abu Bakar wafat, maka dengan segera Umar menurunkan
perintah pencopotan Khalid dari posisi panglima pasukan dan digantikan dengan
Abu Ubaidah. Setelah informasi pengangkatan dirinya sebagai pemimpin pasukan
itu diterima, dia berusaha merahasiakannya untuk beberapa saat, karena
pemahaman agamanya yang mendalam serta sifat lembut dan santunnya. Ketika
Damaskus telah berhasil dikuasai, pada saat itulah dia baru menunjukkan
kekuasaannya, yakni membuat perjanjian damai dengan bangsa Romawi hingga
akhirnya mereka bisa membuka pintu Selatan dengan jalan damai.
Jika Khalid
bin Al Walid menaklukkan Romawi dengan cara militer dari arah Timur, maka Abu
Ubaidah meneruskan penaklukkan tersebut melalui perjanjian damai.
6.
Bertanggung
Jawab
Rasa tanggung
jawab terhadap tugas adalah sifat utama Abu Ubaidah. Pada perang Uhud,
misalnya, ia merasakan keinginan kuat pasukan musuh untuk membunuh Rasulullah.
Karena itu, ia putuskan untuk selalu berada di dekat Rasulullah.
Ia tebaskan
pedangnya ke setiap tentara musuh yang berusaha memadamkan cahaya Allah.Jika
kondisi pertempuran memaksakan menjauh dari posisi Rasulullah, maka sorot
matanya senantiasa tertuju kepada Rasulullah dengan perasaan cemas.
Jika
dilihatnya ada bahaya yang mendekati Rasulullah, ia bagai disentakkan dari
tempatnya lalu melompat menerkam musuh-musuh Allah, dan menghalau mereka
sebelum sempat mencederai beliau.
Suatu ketika,
saat pertempuran berkecamuk dengan hebatnya, ia terpisah dari Nabi karena
terkepung oleh tentara mus9uh. Namun seperti biasa, kedua matanya bagai mata
elang mengintai keadaan sekitarnya.Hampir saja ia gelap mata ketika melihat
sebuah anak panah meluncur dari tangan seorang tentara musyrik mengenai Nabi.
Ia tebaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri dengan cepat, bak seratus edang
berkelebatan mengobrak-ngabrik orang-orang yang mengepungnya. Mereka
kocar-kacir. Dengan cepat, Abu Ubaidah melompat ke arah Rasulullah.
Ia mendapati
darah mengalir dari wajah beliau. Beliau mengusapnya dengan tangan kanan, dan
berkata, “Bagaimana mungkin bahagia suatu kaum yang mengotori wajah Nabi
mereka, padahal Nabi itu menyeru mereka untuk menyembah Tuhan mereka?!”
Abu Ubaidah
melihat dua buah mata rantai penutup kepala Rasulullah menancap di kedua
pipinya. Abu Ubaidah tidak dapat menahan diri. Ia segera menggigit satu mata
rantai itu lalu menariknya dengan kuat dari pipi Rasulullah hingga tercabut
keluar. Bersamaan dengan itu, satu gigi depan Abu Ubaidah juga lepas.Ia menarik
mata rantai yang kedua hingga tercabut dari pipi Rasulullah, dan gigi depan Abu
Ubaidah yang satunya pun tercabut.
Pada saat-saat
bertambah besar dan meluasnya tanggung jawab para sahabat, maka amanah dan
kejujuran Abu 'Ubaidah meningkatlah pula. Tatkala ia dikirim oleh Nabi saw
dalam ekspedisi "Daun Khabath"dengan memimpin lebih dari
tiga ratus orang prajurit sedang berbekalan mereka tidak lebih dari sebakul
kurma, sementara tugas sulit dan jarak yang akan ditempuh jauh pula, Abu
'Ubaidah menerima perintah itu dengan taat dan hati gembira. Bersama anak
buahnya pergilah ia ke tempat yang dituju, dan berbekallah setiap prajurit
setiap harinya hanyalah segenggam kurma. Ketika perbekalan hampir habis, maka
bagian masing-masing prajurit hanyalah sebuah kurma untuk sehari. Tatkala
habis sama sekali, mereka mulai mencari daun kayu yang disebut "khabath," lalu
mereka tumbuk sampai halus seperti tepung dengan menggunakan alat
senjata. Di samping daun-daun itu dijadikan sebagai makanan, dapat pula mereka
gunakan sebagai wadah untuk air minum. Itulah sebabnya ekspedisi ini
disebut ekspedisi "Daun Khabath."
Mereka terus maju tanpa menghiraukan lapar dan dahaga, dan tak ada tujuan
mereka kecuali menyelesaikan tugas mulia bersama panglima mereka yang kuat lagi
terpercaya. Rasulullah amat sayang kepada Abu 'Ubaidah sebagai orang
kepercayaan ummat, dan beliau sangat terkesan kepadanya.
7.
Zuhud dan
Bijaksana
Dalam satu
kisah disebutkan ketika Abu Ubaidillah menjabat sebagai seorang gubernur Syam.
Umar bin Khattab sang khalifah pada saat itu hendak berkunjung ke rumahnya. ”
Hai Abu Ubaidah, bolehkah aku datang ke rumahmu?” tanya Umar. Jawab Abu
Ubaidah, “Untuk apakah kau datang ke rumahku? Sesungguhnya aku takut kau tak
kuasa menahan air matamu begitu mengetahui keadaanku nanti.” Namun Umar memaksa
dan akhirnya Abu Ubaidahpun mengizinkan Umar berkunjung ke rumahnya. Ketika
Umar bin Khattab sampai di rumah Abu Ubaidillah, dia sangat terkejut. Ia
mendapati rumah Sang Gubernur Syam kosong melompong. Tidak ada perabotan sama
sekali. Melihat hal tersebut, kemudian Umar bertanya, “Hai Abu Ubaidah, di
manakah penghidupanmu? Mengapa aku tidak melihat apa-apa selain sepotong kain
lusuh dan sebuah piring besar itu, padahal kau seorang gubernur?”, “Adakah kau
memiliki makanan?” tanya Umar lagi. Abu Ubaidah kemudian berdiri dari duduknya
menuju ke sebuah ranjang dan memungut arang yang didalamnya. Umar pun
meneteskan air mata melihat kondisi gubernurnya seperti itu. Abu Ubaidah pun
berujar, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah sudah kukatakan tadi bahwa kau ke
sini hanya untuk menangis.” Umar berkata, “Ya Abu Ubaidah, banyak sekali di
antara kita orang-orang yang tertipu oleh godaan dunia.”
Suatu ketika
Umar mengirimi uang kepada Abu Ubaidah sejumlah empat ribu dinar. Orang yang
diutus Umar melaporkan kepada Umar, “Abu Ubaidah membagi-bagi uang kirimanmu.”
Kemudian Umar berkata, “Alhamdulillah, puji syukur kepada-Nya yang telah menjadikan
seseorang dalam Islam yang memiliki sifat seperti dia.” Begitulah Abu Ubaidah.
Hidup baginya adalah pilihan. Ia memilih zuhud dengan kekuasaan dan harta yang
ada di dalam genggamannya. Baginya jabatan bukan aji mumpung buat memperkaya
diri. Tapi, kesempatan untuk beramal lebih intensif guna meraih surga.
C.
AKHIR RIWAYAT ABU UBAIDAH BIN AL-JARRAH
Riwayat akhir Abu Ubaidah merasa
bahwa ajalnya sudah dekat, maka di saat-saat terakhir yang mengharukan tersebut
ia kembali menorehkan kiprah yang mulia yang menghiasi perjalanan hidupnya yang
penuh dengan nasihat dan jiwanya yang tinggi dan penuh ketakwaan serta
akhlaknya yang mulia.
Abu Ubaidah merasa
bahwa ajalnya sudah dekat, maka di saat-saat terakhir yang mengharukan tersebut
ia kembali menorehkan kiprah yang mulia yang menghiasi perjalanan hidupnya yang
penuh dengan nasihat dan jiwanya yang tinggi dan penuh ketakwaan serta
akhlaknya yang mulia. Dan ia juga menambahkan bukti lain akan kepeduliannya
terhadap kaum muslimin, dan kesibukannya dalam memikirkan yang terakhir dari
catatan kehidupannya yang penuh dengan kemuliaan dan peran yang takkan
terlupakan. Sehingga judul dari buku kehidupannya akan senada dengan
pembukaannya, dan seirama dengan kisah akhir yang menjadi penutupnya. Ia
memberikan wasiat kepada seluruh mujahidin dan mengingatkan mereka akan hal-hal
yang akan menjadi penyebab utama bagi kemenangan mereka, dan juga mengingatkan
mereka akan hakekat tertinggi yang mereka dambakan dan merupakan alasan utama
dari perjalanan jihad mereka.
Diriwayatkan oleh Ibnu
Asakir dari Sa’id bin Abu Sa’id Al-Maqburi ia berkata, “Ketika Abu Ubaidah
terjangkit wabah penyakit di Yordania, dan disanalah ia dikuburkan, ia
memanggil seluruh kaum muslimin yang ada bersama nya dan berkata, “Sesungguhnya aku akan menyampaikan wasiat
kepada kalian semua, dan jika kalian menerimanya niscaya kalian akan senantiasa
berada dalam kebaikan : Dirikanlah Shalat, bayarkanlah zakat, dan berpuasalah
pada bulan Ramadhan. Bersedekahlah dan nasihatilah pemimpin kalian, dan
janganlah mencurangi mereka. Jangan sampai dunia menghancurkan kalian.
Sesungguhnya walaupun ada seseorang yang hidup hingga seribu tahun, ia pasti
akan sampai pada keadaan seperti keadaanku saat ini sebagaimana yang kalian
lihat sendiri. Sesungguhnya Allah telah menetapkan kematian bagi anak cucu
Adam, maka mereka semua akan mati. Orang yang terbaik dari mereka adalah yang
paling taat kepada Tuhannya, dan yang paling banyak bekerja mempersiapkan hari
dimana ia kembali pada Tuhannya. Wassalamu Alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh.
Wahai Mu’ad bin jabal, shalatlah bersama mereka.”.”sebagaimana Allah SWT menjelaskan
dalam Q.S. Ali-Imran : 104 “dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang yang
beruntung.Dan Kemudian ia pun
meninggal
D.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan salah satu sahabat yang paling
dipercaya oleh Rasulullah maupun sahabat serta para ummat Nabi Muhammad SAW. Sehingga
beliau mendapat gelar Aminul Ummah (orang yang terpercaya) dan Amirul
Umaro’ (pemimpinnya para pemimpin).
Abu Ubaidah merupakan orang yang sangat mulia, santun serta tawaddhu’
terhadap perintah Rasululloh. Bahkan Abu Ubaidah tidak pernah meninggalkan
Rasululloh SAW ketika perang apapun. Beliau juga merupakan orang yang paling
kuat serta berani memerangi para kaum musyrik.
DAFTAR PUSTAKA
-
Mahmud, Shalahuddin, As-Sa’id.10 Sahabat Yang Dijamin
Surga. Al-Qowam.Surakarta : 2012
-
Abdul,M.Nipan, Halim. Biografi & Keteladan 10 Sahabat
Ahli Surga. Pustaka Amani. Jakarta : 2005
-
Artikel http://www.kisahislam.net/2011/12/24/abu-ubaidah-bin-al-jarrah/
-
Artikelhttp://forsia.lk.ipb.ac.id/2015/02/08/siroh-abu-ubaidah-ibnu-al-jarrah-versi-ringkasan-lengkap/
-
Artikel
http://www.SahabatNabi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar