Selasa, 16 Mei 2017

Adab dan Akhlak Abu Ubaidah bin Jarrah

BAB 1
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Abu Ubaidah telah menoreh di lembaran sejarah judul-judul penting yang senantiasa dituliskan oleh para ahli sejarah sepanjang masa dan tidak pernah lepas dari ingatan tentang berbagai kebanggaan yang dielu-elukan oleh sebagian penggalan sejarah atas sebagian yang lain, dan mencatatkan di lembaran kemuliaan umat Islam sifat-sifat paling indah dari para pemilik kesempurnaan dan gambaran terbaik tentang kepahlawanan dan pengorbanan serta perjalanan terindah para komandan yang menghiasi peradaban kita pada masa awal. 
Maka sejarah senantiasa menjaganya dan menjadikannya menara yang menunjukkan jalan bagi generasi umat berikutnya agar tersambung dengan para pendahulunya, agar bangunan Islam tetap berdiri kokoh untuk menebar kebaikan, dan supaya menjadi bukti atas keluhuran ajaran agama ini, kemuliaan misinya, perbedaan yang dimilikinya dalam hal petunjuk, dan penjelasan tentang kepatutannya untuk memimpin kemanusiaan kembali untuk menyelamatkannya dari kejatuhannya dan menyelamatkannya dari bahaya yang mengancamnya atas nama kebebasan, kemajuan, peradaban, dan hak asasi manusia.
Kita tidak perlu merangkai kata-kata indah atau membuat puisi pujian untuk Abu Ubaidah. Karena kata-kata indah dari penyair tidak akan mampu menggambarkan kemuliaan dan keutamaan yang telah ditorehkan oleh Abu Ubaidah dengan tindakannya yang luar biasa. Sejak dia menyatakan keislamannya dan bergabung bersama kelompok orang-orang yang paling dahulu masuk Islam, hingga takdir menetapkan kematiannya dengan mati syahid akibat penyakit kusta yang mewabah di Yordania pada tahun 18 Hijriah.
Jika engkau mengikuti perjalanan hidupnya, engakau akan mendapatinya di antara orang-orang yang paling dahulu masuk Islam, lalu bersama orang-orang yang hijrah ke Habasyah dan Madinah. Jika engakau melihat kisah peperangan, akan engkau dapati dia bersama para pejuang dan pahlawan, bersama pasukan dan utusan Rasulullah SAW. Engkau akan semakin takjub dengannya ketika pemilihan Nabi atas dirinya untuk diutus bersama penduduk Yaman sebagai guru dan pendidik, diutus ke Bahrain untuk mengumpulkan sedekah dan menjaga harta, setelah sebelumnya dia mendapat julukan dari Nabi sebagai kepercayaan umat ini. Keutamaan dirinya semakin sempurna dengan adanya kabar gembira dari Nabi, kabar gembira yang diidam-idamkan oleh setiap orang mukmin, yaitu ketika Nabi memasukkan namanya ke dalam deretan pemuka shahabat yang mendapat jaminan masuk surga. Sebuah kemenangan yang besar. Mari kita ikuti kabar gembira tersebut yang dicatat oleh sejarah sebagai keutamaan Abu Ubaidah.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana biografi dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ?
2.    Apa saja sifat-sifat yang dimiliki oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ?
3.    Bagaiamana kisah dari akhir riwayat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ?

C.      TUJUAN MASALAH
1.    Agar menambah wawasan pengetahuan yang dimiliki oleh pembaca
2.    Dapat meneladani sifat-sifat yang dimiliki oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah
3.    Untuk menumbuhkan rasa bangga terhadap sejarah-sejarah mengenai sahabat-sahabat Rasululloh SAW.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      BIOGRAFI ABU UBAIDAH BIN AL-JARRAH
Abu Ubaidah Amir bin Abdullah bin Al Jarrah bin Hilal bin Uhaib bin Dhabbah bin Al Harits bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah. termasuk orang yang pertama masuk Islam, beliau memeluk Islam selang sehari setelah Sayyidina Abu Bakar As Shiddiq memeluk Islam. Beliau masuk Islam bersama Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Mazun dan Arqam bin Abu al-Arqam, di tangan Abu Bakar as Shiddiq. Sayyidina Abu Bakar yang membawakan mereka menemui Rasulullah saw untuk menyatakan syahadat di hadapan Baginda. Kualitasnya dapat kita ketahui melalui sabda Nabi saw:
إِنَّ لَكُمْ أُمَّةً أَمِيْنًا، وَإِنَّ أَمِيْنَ هذِهِ اْلأُمَّةِ أَبُوْ عُبَيْدَةَ بْنُ اْلجَرَّاحِ
“Sesungguhnya setiap umat mempunyai orang kepercayaan, dan kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”
Abu Ubaidah bin Jarrah lahir di Mekah, di sebuah rumah keluarga suku Quraisy terhormat. Nama lengkapnya adalah Amir bin Abdullah bin Jarrah yang dijuluki dengan nama Abu Ubaidah. Ayah dari Abu Ubaidah adalah Abdullah bin al-Garrah bin Hilal dan ibunya bernama Umaimah bint Osman bin Jaber. Abu Ubaidah adalah seorang yang berperawakan tinggi, kurus, berwibawa, bermuka ceria, rendah diri dan sangat pemalu. Beliau termasuk orang yang berani ketika dalam kesulitan, beliau disenangi oleh semua orang yang melihatnya, siapa yang mengikutinya akan merasa tenang. Wajahnya mudah sekali berkeringat, kedua gigi serinya tanggal, dan tipis rambut jenggotnya. Dia memiliki dua orang anak yang bernama Yazid dan Umair. Kedua anak itu merupakan buah hatinya dengan sang istri yang bernama Hindun bin Jabir. Namun, keduanya telah meninggal dunia sehingga dia tidak lagi memiliki keturunan.
Dalam kehidupannya sebagai Muslim, Abu Ubaidah mengalami masa penindasan yang kejam dari kaum Quraiys di Makkah sejak permulaan sampai akhir. Dia turut menderita bersama kaum Muslimin lainnya. Walau demikian, ia tetap teguh menerima segala macam cobaan, tetap setia membela Rasulullah SAW dalam tiap situasi dan kondisi apa pun.
Kehidupan beliau tidak jauh berbeda dengan kebanyakan sahabat lainnya, diisi dengan pengorbanan dan perjuangan menegakkan Agama Islam. Hal itu tampak ketika beliau harus hijrah ke Ethiopia (Habasyi) pada gelombang kedua demi menyelamatkan aqidahnya. Namun kemudian beliau kembali lagi untuk menyertai perjuangan Rasulullah saw.Abu Ubaidah bin Al-Jarrah mendapat julukan Aminul Ummah (Orang yang dipercaya bagi kaumnya) dan Amirul Umaro (pemimpin para pemimpin) dari Rosulullah Saw. Julukan tersebut diberikan oleh Rosulullah Saw berkenaan dengan suatu peristiwa dimana pada suatu hari delegasi Najran dari Yaman datang untuk menyatakan keislaman mereka, dan meminta kepada Nabi SAW agar mengutus bersama mereka orang yang mengajarkan kepada mereka al-Qur’an, Sunnah dan Islam, maka Nabi SAW mengatakan kepada mereka, “Aku benar-benar akan mengutus bersama kalian seorang pria yang sangat dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya.” Semua sahabat berharap bahwa dialah yang bakal dipilih oleh Rasulullah SAW termasuk Umar bin Khattab. Ternyata persaksian ini menjadi keberuntungannya. Setelah Rosulullah Saw melaksanakan sholat dzuhur bersama para sahabat, beliau menengok ke kanan dan ke kiri hingga pandangannya tertuju pada Abu Ubaidah dan beliau meminta Abu Ubaidah untuk pergi bersama mereka. Pada watku beliau Abu Ubaidah berdiri, Rasulullah bersabda; “Inilah orang kepercayaan umat Islam.”

B.       ADAB DAN AKHLAK ABU UBAIDAH BIN AL-JARRAH
Sifat-sifat yang dimiliki oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah sudah tidak bisa dipungkiri lagi. Banyak sekali dari sifat-sifat beliau yang dapat kita teladani, yakni diantaranya :
1.         Jujur
Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan orang yang paling dipercaya pada masanya. Bahkan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dijuluki Amirul Ummah atau orang yang dipercaya. Suatu ketika datang sebuah delegasi dari kaum Kristian menemui Rasulullah SAW.  Mereka mengatakan, “Ya Abul Qassim! Kirimkanlah bersama kami seorang sahabatmu yang engkau percayai untuk menyelesaikan perkara kebendaan yang sedang kami pertengkarkan, kerana kaum muslimin di pandangan kami adalah orang yang disenangi.” Rasulullah s.a.w. bersabda kepada mereka, “Datanglah ke sini petang nanti, saya akan kirimkan bersama kamu seorang yang gagah dan jujur.”
Dalam kaitan ini, Saidina Umar bin Al-Khattab ra mengatakan, “Saya berangkat tergesa-gesa untuk menunaikan solat Zohor, sama sekali bukan kerana ingin ditunjuk sebagai delegasi. Setelah Rasulullah selesai mengimami solat Zohor bersama kami, beliau melihat ke kiri dan ke kanan. Saya sengaja meninggikan kepala saya agar beliau melihat saya, namun beliau masih terus membalik-balik pandangannya kepada kami. Akhirnya beliau melihat Abu Ubaidah bin Jarrah, lalu beliau memanggilnya sambil bersabda, ‘Pergilah bersama mereka, selesaikanlah kes yang menjadi perselisihan di antara mereka dengan adil.’ Lalu Abu Ubaidah pun berangkat bersama mereka.”
Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Sesungguhnya dalam setiap kaum terdapat orang yang jujur. Orang yang jujur di kalangan umatku adalah Abu Ubaidah al Jarrah.”
Dalam hadis yang lain Rasulullah s.a.w. bersabda lagi.
“Tiap-tiap umat ada orang yang memegang amanah. Dan pemegang amanah umat ini ialah Abu Ubaidah al Jarrah.”
2.         Kuat, Gagah dan Berani
Abu ubaidah merupakan orang yang pertama kali masuk islam .pada saat itu abu ubaidah berusia 41 tahun. Abu ubaidah juga ikut serta dalam berbagai peperangan. Salah satu diantara peperanag yan di ikuti abu ubaidah bin jarrah adalah perang bada,yaitu perang pertama antara kaum muslimin dan kaum kafir.Pada saat itu Abu ubaidah mersakan penderitaan yang membuat  ia saikt dan kesedihan yang tidak pernah  dirasakan oleh pengikut agama di muka bumi ini.Namun ia tetap tegar menghadapi ujian ini,yang senantiasa mentaati dan membenarkan ALLAH dan Rosaul nya dalam segala kondisi.
Ujian terberat yang di alami abu ubaidah di saat perang Badar  ketika keimanan nya di uji oleh ALLAH SWT saat ia menyerang di antara barisan dengan begitu kuat dan berani.abu ubaidah sebagai tentara tentu saja ia patuh kepada panglimanya yaitu Rosulullah saw .dalam hati abu ubaidah ia berkeyakinan bahwa semua ornag yang berperang di bawah panji rosulullah adalah saudara.sebaliknya semua yang berperang di bawah bendera  Quraisy adalah musuh,meskipun mereka adalah keluarga terdekatnya.maka ketika dilihatnya sang ayah yang kafir ia tetap kuat dan berani untuk memerangi dan membunuh nya setelah ia tahu bahwa sang ayah telah membunuh saudara-saudarnya seiman.bergejolaklah dalam hatinya sebagai seorang anak dan seorang muslim ia merubah sikap.dengan keyakinan yang kuat dan berani ia menghadapi ayah nya sebagai musuh yang patut di perangi.
Kemudian Abu Ubaidah mendekati kuda ayahnya dan berkata “wahai ayah bertobatlah. Sadarila bahwa jalan yang engkau tempuh itu adalah jalan yang sesat. Ikutlah bersama ku, dan jadilah keluargaku dalam iman.”. ‘’anak kurang ajar!!, bukan untuk inilah aku besarkan. Sungguh, jika aku tahu akan begini jadinya, sejak dari dulu sudah aku bunuh, dasar anak durhaka,”. Teriak ayahnya sambil terus menghantamkan pedangnya. “kalau ayah tidak menuruti nasihatku, maafkan saya jika terpaksa melawan ayah.” Kata Abu Ubaidah masih dalam nada yang lembut. “apa, kamu menantangku? Dasar anak tak tau di untung, ayo maju, biar sekalian ku penggal kepala mu seperti teman-teman mu!. Dengan kuat dan berani, yang diiringi keimanan maka Abu Ubaidah pun menerjang dan menghantamkan pedang ditangannya tanpa ragu-ragu. Keduanya salinng memukul, menangkis dan saling menusukkan pedang masing-masing sehinga Abu Ubaidah membelah kepala ayahnya menjadi dua. Lalu Ubaidah berkata sambil menatap tubuh ayahnya yang terpakai bersimbah darah, “ maafkan saya ayah.” Sedih, pasti. Sebab bagaimanapun laki-laki yang sedang dirobohkannya itu ayahnya, orang yang pernah yang mengasih dan membesarkannya. Dalam hatinya, tidak berniat membunuh ayahnya melainkan membunuh kemusyrikan ayahnya.
Berkenaan dengan kasus Abu Ubaidah ini, Allah SWT berfirman: 
لَاتَجِدُقَوْمًايُؤْمِنُونَبِاللَّهِوَالْيَوْمِالْآخِرِيُوَادُّونَمَنْحَادَّاللَّهَوَرَسُولَهُوَلَوْكَانُواآبَاءَهُمْأَوْأَبْنَاءَهُمْأَوْإِخْوَانَهُمْأَوْعَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَكَتَبَفِيقُلُوبِهِمُالْإِيمَانَوَأَيَّدَهُمْبِرُوحٍمِنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْجَنَّاتٍتَجْرِيمِنْتَحْتِهَاالْأَنْهَارُخَالِدِينَفِيهَا ۚ رَضِيَاللَّهُعَنْهُمْوَرَضُواعَنْهُ ۚ أُولَٰئِكَحِزْبُاللَّهِ ۚ أَلَاإِنَّحِزْبَاللَّهِهُمُالْمُفْلِحُونَ
"Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung." (QS Al-Mujaadalah: 22)
Ayat tersebut tidak membuat Abu Ubaidah besar kepala dan membusungkan dada. Bahkan menambah kokoh imannya kepada Allah dan ketulusannya terhadap agama-Nya. Orang yang mendapatkan gelar "kepercayaan umat Muhammad" ini ternyata menarik perhatian orang-orang besar, bagaikan magnet yang menarik logam di sekitarnya.
Dalam riwayat lain sifat kuat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika dalam perang Uhud, pasukan muslimin kucar kacir dan banyak yang lari meninggalkan pertempuran, justeru Abu Ubaidah bin Jarrah berlari untuk mendapati Nabinya tanpa takut sedikit pun terhadap banyaknya lawan dan rintangan. Demi didapati pipi Nabi terluka, yaitu terhujamnya dua rantai besi penutup kepala beliau, segera ia berusaha untuk mencabut rantai tersebut dari pipi Nabi saw.
Abu Ubaidah bin Jarrah mulai mencabut rantai tersebut dengan gigitan giginya. Rantai itu pun akhirnya terlepas dari pipi Rasulullah saw. Namun bersamaan dengan itu pula gigi seri Abu Ubaidah bin Jarrah ikut terlepas dari tempatnya. Abu Ubaidah bin Jarrah tidak jera. Diulanginya sekali lagi untuk mengigit rantai besi satunya yang masih menancap dipipi Rasulullah saw hingga terlepas. Dan kali ini pun harus juga diikuti dengan lepasnya gigi Abu Ubaidah bin Jarrah, sehingga dua gigi seri sahabat ini ompong karenanya. Sungguh, satu keberanian dan pengorbanan yang tak tergambarkan.
3.         Pintar, Cerdas dan Cerdik
Tatkala datang perutusan Najran dari Yaman menyatakan keislaman mereka dan meminta kepada Nabi agar dikirim bersama mereka seorang guru untuk mengajarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah serta seluk beluk agama Islam, maka ujar beliau: "Baiklah, akan saya kirim bersama Tuan-Tuan seorang yang terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya."
Para sahabat mendengar pujian yang keluar dari mulut Rasulullah saw ini, dan masing-masing berharap agar pilihan agar jatuh kepada dirinya, sampai beruntung beroleh pengakuan dan kesaksian yang tak dapat diragukan lagi kebenarannya.
Umar bin khattab menceritakan peristiwa itu sebagai berikut: "Aku tak pernah berangan-angan menjadi amir, tetapi ketika itu aku tertarik oleh ucapan beliau dan mengharapkan yang dimaksud beliau itu adalah aku. Aku cepat-cepat berangkat untuk shalat dhuhur. Dan tatkala Rasulullah selesai mengimami kami shalat dhuhur, beliau memberi salam, lalu menoleh ke sebelah kanan dan kiri.Maka saya pun mengulurkan badan agar terlihat oleh beliau. Tetapi ia juga masih melayangkan pandangannya menacari-cari, sampai akhirnya tampaklah Abu 'Ubaidah, maka dipanggilnya, lalu sabdanya: "Pergilah berangkat bersama mereka dan selesaikanlah apabila terjadi perselisihan di antara mereka dengan haq."  Maka Abu 'Ubaidah berangkatlah bersama orang-orang itu.
4.         Sabar
Diriwayatkan dari Hisyam bin Sa’ad, dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, ia berkata: Umar mendengar kabar bahwa Abu Ubaidah terkepung di Syam dan hampir dikalahkan musuh. Umar bin Khaththab pun mengirim surat kepadanya yang berisi, “Amma ba’du. Sesungguhnya setiap kesukaran yang menimpa seorang mukmin yang teguh maka sesudahnya akan ada jalan keluar. Satu kesukaran tidak bisa mengalahkan dua kemudahan. Allah berfirman.
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُوااصْبِرُواوَصَابِرُواوَرَابِطُواوَاتَّقُوااللَّهَلَعَلَّكُمْتُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung’.” (Qs. Aali ‘Imraan [3]: 200)
Setelah membaca surat tersebut, Abu Ubaidah lalu membalasnya sebagaimana berikut, “Amma ba’du. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
اعْلَمُواأَنَّمَاالْحَيَاةُالدُّنْيَالَعِبٌوَلَهْوٌوَزِينَةٌوَتَفَاخُرٌبَيْنَكُمْوَتَكَاثُرٌفِيالْأَمْوَالِوَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِغَيْثٍأَعْجَبَالْكُفَّارَنَبَاتُهُثُمَّيَهِيجُفَتَرَاهُمُصْفَرًّاثُمَّيَكُونُحُطَامًا ۖ وَفِيالْآخِرَةِعَذَابٌشَدِيدٌوَمَغْفِرَةٌمِنَاللَّهِوَرِضْوَانٌ ۚ وَمَاالْحَيَاةُالدُّنْيَاإِلَّامَتَاعُالْغُرُورِ
”Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga akan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu’.” (Qs. Al Hadiid [57]: 20).
Umar bin Khaththab kemudian keluar dari rumahnya beserta surat tersebut dan membacanya di atas mimbar seraya berkata, “Wahai penduduk Madinah, sungguh Abu Ubaidah telah mendorong kalian, maka berjihadlah bersamaku!”
Tsabit Al Bunani berkata, “Abu Ubaidah berkata, ‘Aku adalah orang Quraisy dan tiada seorang pun yang berkulit merah maupun hitam di antara kalian yang mengungguliku dalam ketakwaan kecuali aku ingin menjadi sepertinya’.”
Sifat sabar yang dimiliki oleh Abu Ubaidah yakni bertahan bersama pasukannya menghadapi wabah tha’un dan seruannya kepada mereka untuk tetap sabar dan beriman
Pada tahun 18 Hijriyah, Umar bin Khattab mengirim bala tentara ke Jordania yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Jarrah, kemudian tentara tersebut tinggal di ‘Amwas, Jordan, hingga terjangkit penyakit kusta saat bala tentara tinggal disana. Ketika Umar bin Khattab mendengar hal demikian, beliau menulis surat kepada Abu Ubaidah bin Jarrah. Amirul mukminin umar ingin menarik Abu Ubaidah dan membawanya kembali bersamanya di madinah karena ia membutuhkan tenaganya dalam mengatur urusan negara dan memimpin penaklukan-penaklukan lainnya serta menyebarkan islam. Namun Abu Ubaidah memilih untuk bersabar bersama pasukannya dalam menghadapi ujian, agar ia menjadi pemimpin sekaligus teladan yang baik bagi mereka dalam susah maupun senang, dalam kelapangan dan kesulitan, dan dalam menghadapi pertempuran ataupun cobaan yang lainnya. Ia mengharapkan syahid yang jika tidak mendatangi melalui dentingan pedang maka ia mengharapkan takdir akan membawakannya melalui wabah penyakit yang korbannya pun terhitung sebagai syahid. Maka ia memohon maaf kepada Amirul Mukminin dan memintanya untuk membebaskannya dari perintahnya untuk mendatanginya. Ia menulis surat kepadanya,
“saat ini aku berada ditengah pasukan kaum muslimin dan aku tidak akan mementingkan diriku dari mereka. Sesungguhnya aku telah memahami kebutuhan yang engkau maksud dari permintaanmu, dan bahwa engkau ingin mempertahankan seorang yang tidak akan kekal. Maka jika suratku ini sampai ke tanganmu maka bebaskanlah aku dari perintahmu dan izinkanlah aku untuk tetap menetap disini.”
Lalu Abu Ubaidah berdiri dihadapan pasukannya dan memotivasi mereka untuk tetap bersabar dalam menghadapi wabah tersebut. Ia menghibur mereka atas musibah yang menimpa mereka, dan memberi mereka kabar gembira bagi mereka yang menjadi korban karena wabah penyakit tersebut.
Dari Syahar bin Hausyah Al-Asy’ari, dari ayah tirinya seorang laki-laki dari kaumnya yang menikahi ibunya setelah ayahnya ikut dalam pasukan yang menghadapi tha’un amawas- ia berkata, ketika wabah penyakit sedang mengganas, abu ubaidah berdiri di depan pasukan dan berkhutbah, ia berkata:
“wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini adalah rahmat bagi kalian, dan merupakan doa dari nabi kalian, serta kematian orang-orang shalih sebelum kalian. Sesungguhnya abu ubaidah memohin kepada allah untuk memberinya sedikit dari bagiannya.” Ia berkata, “dan ia pun terkena penyakit tersebut dan wafat, semoga allah merahmatinya.”
Ketika ditimpa penyakit tha’un, Abu Ubaidah dirawat oleh istrinya. Penyakit tha’un terus menyebar di pasukan kaum muslimin, virus nya menjangkiti mereka, dan merenggut banyak korban dari mereka. Ajal pun semakin dekat kepada penakluk besar negeri Syam Abu Ubaidah. Wabah tersebut mulai menyerangnya, dan memasuki tubuhnya melalui telapak tangannya. Wabah tersebut terus menyebar, dan tidak ada cara untuk menghindarinya.
Diriwayatkan dari Syahar bin Hausyab ia berkata, Abdurrahman bin Ghanim menceritakan kepadaku dari Al-Harits bin Amirah, “Bahwasanya Mu’adz bin Jabal memegang tangannya dan mengirimnya kepada Abu Ubaidah bin Jarrah untuk menanyakan kabarnya, dan saat itu mereka berdua telah menderita penyakit tersebut. Lalu Abu Ubaidah memperlihatkan kepadanya luka yang telah menyerang telap tangannya. Keadaan tersebut sangat berat bagi Al-Harits dan merasa prihatin atas apa yang dilihatnya. Namun Abu Ubaidah bersumpah bahwa keadaan tersebut lebih ia sukai daripada unta merah.”
Dalam sakit yang merenggut nyawanya tersebut ia berdiam di tempat istrinya beberapa lama, sambil menunggu kepergiannya menuju keabadian, dan bertemu dengan orang-orang yang dicintainya, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya yang telah mendahuluinya menuju kemuliaan. Abu Ubaidah melihat kembali kehidupan yang telah dilaluinya dengan berbagai amal yang agung, dan kehidupan yang telah dilaluinya dengan berbagai amal yang agung, dan berharap Allah akan menerima amal-amal tersebut. Ia khawatir kalau-kalau amal tersebut dicemari oleh penyakit riya’ yang akan mengurangi pahalanya dan bahkan menghilangkannya. Ia juga memeriksa dosa-dosa yang pernah dilakukannya. Hatinya bergetar takut membayangkan hari perhitungan dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepadanya kelak. Namun ia kembali merasa tenang karena yakin bahwa cobaan yang menimpanya saat itu akan menghapus dosa-dosanya dan menjadi pengampunan baginya.
Diriwayatkan  oleh Al-Walid bin Abdurrahman, dari Iyadh bin Ghuthaif ia berkata, “Kami mendatangi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah pada sakitnya, istrinya Tuhaifah sedang duduk di dekat kepalanya, sementara wajahnya melihat ke arah dinding. Aku berkata, “Bagaimanakah Abu Ubaidah menghabiskan malamnya dengan pahala.” Maka Abu Ubaidah berkata, “Demi Allah, sungguh aku tidak menghabiskan malamku dengan pahala.” Dan ia merasa bahwa perkataannya tidak mengenakkan bagi tamu-tamu nya, maka ia berkata, “Tidakkah kalian bertanya tentang ucapanku?” mereka berkata, “Kami tidak merasa kaget dengan ucapanmu, kenapa kami harus bertanya?” ia berkata, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “siapa yang meninfakkan hartanya di jalan Allah, maka dibalas dengan tujuh ratus kali lipat, dan barang siapa yang menginfakkan hartanya untuk keluarganya, atau mengunjungi orang yang sakit atau memilih untuk menanggung penyakit, maka satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Puasa adalah tameng selama ia tidak merusaknya. Dan siapa diuji Allah dengan sebuah cobaan di tubuhnya, maka itu terjadi penghapus atas dosa-dosanya.”
Demi Allah, wahai Abu Ubaidah Setelah catatan yang penuh dengan pekerjaan yang mulia tersebut, bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang lebih dari dua puluh tahun, kemudian diikuti dengan tujuh tahun yang diisi dengan jihad yang tak pernah putus dan berbagai penaklukan yang terus menerus, dan juga jaminan surge untuknya, dan kesaksian Rasulullah bahwa ia adalah orang yang paling percaya dari umat ini, setelah akan mengampuni apa yang tidak diketahuinya dan juga tidak diketahu oleh orang lain. Dan ia masih berharap Allah menjadikan penyakit tha’un tersebut sebagai syahid baginya dan pengampunan atas dosa-dosanya.
Inilah jiwa seorang mukmin. Jiwa yang takwa dan suci, yang tunduk dan merendahkan hatinya. Yang mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, serta menghoarmati Allah dengan semestinya. Adapun orang-orang yang telah tertipu dan tidak mengenal Allah kecuali amat sedikit, dan tidak menyadari berapa banyak keikhlasan mereka dalam hal yang sedikit tersebut, lalu berani menguntai banyak harapan bahwa mereka akan di panggil melalui pintu surga yang delapan; sesungguhnya mereka berada dalam bahaya yang amat besar. Adapun Abu Ubaidah dan saudara-saudaranya yang terdidik dalam madrasah kenabian, maka mereka mempunyai kedudukan yang berbeda, dan kisah yang menakjubkan.
5.         Mulia, Santun dan Tawaddhu’
Dalam musyawarah pemilihan Khalifah yang pertama (Yaumu s-saqifah), ‘Umar bin Khaththab mengulurkan tangannya kepadà Abu ‘Ubaidah seraya berkata, “Saya memilih Anda dan bersumpah setia dengan Anda. Kerana saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:.
“Sesungguhnya tiap-tiap ummat mempunyai orang dipercayai. Orang yang paling dipercaya dan ummat ini adalah Anda (Abu ‘Ubaidah).”
Jawab Abu ‘Ubaidah, “Saya tidak mau mendahului orang yang pernah disuruh Rasulullah untuk mengimami kita shalat sewaktu beliau hidup (Abu Bakar). walaupun sekarang beliau telah wafat, marilah kita imamkan juga dia.”
Akhirnya mereka sepakat memilih Abu Bakar inenjadi Khalifah Pertama, sedangkan Abu ‘Ubaidah menjadi penasihat dan pembantu utama bagi Khalifah.
Setelah Abu Bakar, jabatan khalifah pindah ke tangan ‘Umar bin Khatthab Al-Faruq. Abu ‘Ubaidah selalu dekat dengan ‘Umar dan tidak pernah membangkang perintahnya, kecuali sekali. Tahukah Anda, perintah Khalifah ‘Umar yang bagaimanakah yang tidak dipatuhi Abu Ubaidah? Peristiwa itu terjadi ketika Abu ‘Ubaidah bin Jarrah memimpin tentara muslimin menaklukkan wilayah Syam (Syria). Dia berhasil memperoleh kemenangan demi ke menangan berturut-turut, sehingga seluruh wilayah Syam takluk ke bawah kekuasaannya sejak dan tepi sungai Furat di sebelah Timur sampai ke Asia Kecil di sebelah Utara
Sementara itu, di negeri Syam berjangkit penyakit menular (Tha’un) yang amat berbahaya, yang belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga korban berjatuhan. Khalifah ‘Umar datang dan Madinah , sengaja hendak menemui Abu ‘Ubaidah. Tetapi ‘Umar tidak dapat masuk kota kerana penyakit yang sedang mengganas itu. Lalu ‘Umar menulis surat kepada Abu ‘Ubaidah sebagai berikut:
“Saya sangat penting bertemu dengan Saudara. Tetapi saya tidak dapat menemui Saudara kerana wabak penyakit sedang berjangkit dalam kota. Kerana itu bila surat ini sampai ke tangan Saudara malam hari, saya harap Saudara berangkat menemui saya di luar kota sebelum Subuh. Dan bila surat ini sampai ke tangan siang hari, saya harap Saudara berangkat sebelum hari petang.”
Setelah surat Khalifah tersebut dibaca Abu ‘Ubaidah, dia berkata, “Saya tahu maksud Amirul Mu’minin memanggil saya. Beliau ingin supaya saya menyingkir dari pe nyakit yang berbahaya ini.”
Lalu dibalasnya surat Khalifah, katanya; “Ya, Amirul Mu’minin! Saya mengerti maksud Khalifah memanggil saya. Saya berada di tengah-tenciah tentara muslimin, sedang bertugas memimpin mereka. Saya tidak ingin meninggalkan mereka dalam bahaya yang mengancam hanya untuk menyelamatkan diri sendiri. Saya tidak ingin berpisah dengan mereka, sehingga Allah memberi keputusan kepada kami semua (selamat atau binasa). Maka bila surat ini sampai ke tangan Anda, ma’afkanlah saya tidak dapat memenuhi permintaan Anda, dan beri izinlah saya untuk tetap tinggal bersama-sama mereka.”
Setelah Khalifah ‘Umar selesai membaca surat tersebut, beliau menangis sehingga air matanya meleleh ke pipinya. Kerana sedih dan terharu melihat Umar menangis, maka orang yang disamping beliau bertanya, “Ya, Amiral Mu’ minin! Apakah Abu ‘Ubaidah wafat?”
“Tidak!” jawab ‘Umar. “Tetapi dia berada di ambang kematian.”
Dalam riwayat lain disebutkan sifat santunnya ketika terjadi terjadilah perang Fihl dan perang Maraj Ash-Shuffar. Pada saat itu Abu Bakar telah memberangkatkan pasukan yang dipimpin Khalid bin Al Walid untuk menaklukkan Irak. Kemudian beliau mengutus seorang delegasi untuk menemui Khalid bin Al Walid agar berkenan membantu pasukan yang sedang bertugas di Syam.
Dia lalu memotong jalan padang pasir, sedangkan Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika itu menjabat sebagai panglima tertinggi dari semua pasukan. Ketika pasukan Islam mengepung Damaskus, Abu Bakar wafat, maka dengan segera Umar menurunkan perintah pencopotan Khalid dari posisi panglima pasukan dan digantikan dengan Abu Ubaidah. Setelah informasi pengangkatan dirinya sebagai pemimpin pasukan itu diterima, dia berusaha merahasiakannya untuk beberapa saat, karena pemahaman agamanya yang mendalam serta sifat lembut dan santunnya. Ketika Damaskus telah berhasil dikuasai, pada saat itulah dia baru menunjukkan kekuasaannya, yakni membuat perjanjian damai dengan bangsa Romawi hingga akhirnya mereka bisa membuka pintu Selatan dengan jalan damai.
Jika Khalid bin Al Walid menaklukkan Romawi dengan cara militer dari arah Timur, maka Abu Ubaidah meneruskan penaklukkan tersebut melalui perjanjian damai.
6.         Bertanggung Jawab
Rasa tanggung jawab terhadap tugas adalah sifat utama Abu Ubaidah. Pada perang Uhud, misalnya, ia merasakan keinginan kuat pasukan musuh untuk membunuh Rasulullah. Karena itu, ia putuskan untuk selalu berada di dekat Rasulullah.
Ia tebaskan pedangnya ke setiap tentara musuh yang berusaha memadamkan cahaya Allah.Jika kondisi pertempuran memaksakan menjauh dari posisi Rasulullah, maka sorot matanya senantiasa tertuju kepada Rasulullah dengan perasaan cemas.
Jika dilihatnya ada bahaya yang mendekati Rasulullah, ia bagai disentakkan dari tempatnya lalu melompat menerkam musuh-musuh Allah, dan menghalau mereka sebelum sempat mencederai beliau.
Suatu ketika, saat pertempuran berkecamuk dengan hebatnya, ia terpisah dari Nabi karena terkepung oleh tentara mus9uh. Namun seperti biasa, kedua matanya bagai mata elang mengintai keadaan sekitarnya.Hampir saja ia gelap mata ketika melihat sebuah anak panah meluncur dari tangan seorang tentara musyrik mengenai Nabi. Ia tebaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri dengan cepat, bak seratus edang berkelebatan mengobrak-ngabrik orang-orang yang mengepungnya. Mereka kocar-kacir. Dengan cepat, Abu Ubaidah melompat ke arah Rasulullah.
Ia mendapati darah mengalir dari wajah beliau. Beliau mengusapnya dengan tangan kanan, dan berkata, “Bagaimana mungkin bahagia suatu kaum yang mengotori wajah Nabi mereka, padahal Nabi itu menyeru mereka untuk menyembah Tuhan mereka?!”
Abu Ubaidah melihat dua buah mata rantai penutup kepala Rasulullah menancap di kedua pipinya. Abu Ubaidah tidak dapat menahan diri. Ia segera menggigit satu mata rantai itu lalu menariknya dengan kuat dari pipi Rasulullah hingga tercabut keluar. Bersamaan dengan itu, satu gigi depan Abu Ubaidah juga lepas.Ia menarik mata rantai yang kedua hingga tercabut dari pipi Rasulullah, dan gigi depan Abu Ubaidah yang satunya pun tercabut.
Pada saat-saat bertambah besar dan meluasnya tanggung jawab para sahabat, maka amanah dan kejujuran Abu 'Ubaidah meningkatlah pula. Tatkala ia dikirim oleh Nabi saw dalam ekspedisi "Daun Khabath"dengan memimpin lebih dari tiga ratus orang prajurit sedang berbekalan mereka tidak lebih dari sebakul kurma, sementara tugas sulit dan jarak yang akan ditempuh jauh pula, Abu 'Ubaidah menerima perintah itu dengan taat dan hati gembira. Bersama anak buahnya pergilah ia ke tempat yang dituju, dan berbekallah setiap prajurit setiap harinya hanyalah segenggam kurma. Ketika perbekalan hampir habis, maka bagian masing-masing prajurit hanyalah sebuah kurma untuk sehari. Tatkala habis sama sekali, mereka mulai mencari daun kayu yang disebut "khabath," lalu mereka tumbuk sampai halus seperti tepung dengan menggunakan alat senjata. Di samping daun-daun itu dijadikan sebagai makanan, dapat pula mereka gunakan sebagai wadah untuk air minum. Itulah sebabnya ekspedisi ini disebut ekspedisi "Daun Khabath."
Mereka terus maju tanpa menghiraukan lapar dan dahaga, dan tak ada tujuan mereka kecuali menyelesaikan tugas mulia bersama panglima mereka yang kuat lagi terpercaya. Rasulullah amat sayang kepada Abu 'Ubaidah sebagai orang kepercayaan ummat, dan beliau sangat terkesan kepadanya. 
7.         Zuhud dan Bijaksana
Dalam satu kisah disebutkan ketika Abu Ubaidillah menjabat sebagai seorang gubernur Syam. Umar bin Khattab sang khalifah pada saat itu hendak berkunjung ke rumahnya. ” Hai Abu Ubaidah, bolehkah aku datang ke rumahmu?” tanya Umar. Jawab Abu Ubaidah, “Untuk apakah kau datang ke rumahku? Sesungguhnya aku takut kau tak kuasa menahan air matamu begitu mengetahui keadaanku nanti.” Namun Umar memaksa dan akhirnya Abu Ubaidahpun mengizinkan Umar berkunjung ke rumahnya. Ketika Umar bin Khattab sampai di rumah Abu Ubaidillah, dia sangat terkejut. Ia mendapati rumah Sang Gubernur Syam kosong melompong. Tidak ada perabotan sama sekali. Melihat hal tersebut, kemudian Umar bertanya, “Hai Abu Ubaidah, di manakah penghidupanmu? Mengapa aku tidak melihat apa-apa selain sepotong kain lusuh dan sebuah piring besar itu, padahal kau seorang gubernur?”, “Adakah kau memiliki makanan?” tanya Umar lagi. Abu Ubaidah kemudian berdiri dari duduknya menuju ke sebuah ranjang dan memungut arang yang didalamnya. Umar pun meneteskan air mata melihat kondisi gubernurnya seperti itu. Abu Ubaidah pun berujar, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah sudah kukatakan tadi bahwa kau ke sini hanya untuk menangis.” Umar berkata, “Ya Abu Ubaidah, banyak sekali di antara kita orang-orang yang tertipu oleh godaan dunia.”
Suatu ketika Umar mengirimi uang kepada Abu Ubaidah sejumlah empat ribu dinar. Orang yang diutus Umar melaporkan kepada Umar, “Abu Ubaidah membagi-bagi uang kirimanmu.” Kemudian Umar berkata, “Alhamdulillah, puji syukur kepada-Nya yang telah menjadikan seseorang dalam Islam yang memiliki sifat seperti dia.” Begitulah Abu Ubaidah. Hidup baginya adalah pilihan. Ia memilih zuhud dengan kekuasaan dan harta yang ada di dalam genggamannya. Baginya jabatan bukan aji mumpung buat memperkaya diri. Tapi, kesempatan untuk beramal lebih intensif guna meraih surga.

C.      AKHIR RIWAYAT ABU UBAIDAH BIN AL-JARRAH
Riwayat akhir Abu Ubaidah merasa bahwa ajalnya sudah dekat, maka di saat-saat terakhir yang mengharukan tersebut ia kembali menorehkan kiprah yang mulia yang menghiasi perjalanan hidupnya yang penuh dengan nasihat dan jiwanya yang tinggi dan penuh ketakwaan serta akhlaknya yang mulia.
Abu Ubaidah merasa bahwa ajalnya sudah dekat, maka di saat-saat terakhir yang mengharukan tersebut ia kembali menorehkan kiprah yang mulia yang menghiasi perjalanan hidupnya yang penuh dengan nasihat dan jiwanya yang tinggi dan penuh ketakwaan serta akhlaknya yang mulia. Dan ia juga menambahkan bukti lain akan kepeduliannya terhadap kaum muslimin, dan kesibukannya dalam memikirkan yang terakhir dari catatan kehidupannya yang penuh dengan kemuliaan dan peran yang takkan terlupakan. Sehingga judul dari buku kehidupannya akan senada dengan pembukaannya, dan seirama dengan kisah akhir yang menjadi penutupnya. Ia memberikan wasiat kepada seluruh mujahidin dan mengingatkan mereka akan hal-hal yang akan menjadi penyebab utama bagi kemenangan mereka, dan juga mengingatkan mereka akan hakekat tertinggi yang mereka dambakan dan merupakan alasan utama dari perjalanan jihad mereka.
Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari Sa’id bin Abu Sa’id Al-Maqburi ia berkata, “Ketika Abu Ubaidah terjangkit wabah penyakit di Yordania, dan disanalah ia dikuburkan, ia memanggil seluruh kaum muslimin yang ada bersama nya dan berkata, “Sesungguhnya aku akan menyampaikan wasiat kepada kalian semua, dan jika kalian menerimanya niscaya kalian akan senantiasa berada dalam kebaikan : Dirikanlah Shalat, bayarkanlah zakat, dan berpuasalah pada bulan Ramadhan. Bersedekahlah dan nasihatilah pemimpin kalian, dan janganlah mencurangi mereka. Jangan sampai dunia menghancurkan kalian. Sesungguhnya walaupun ada seseorang yang hidup hingga seribu tahun, ia pasti akan sampai pada keadaan seperti keadaanku saat ini sebagaimana yang kalian lihat sendiri. Sesungguhnya Allah telah menetapkan kematian bagi anak cucu Adam, maka mereka semua akan mati. Orang yang terbaik dari mereka adalah yang paling taat kepada Tuhannya, dan yang paling banyak bekerja mempersiapkan hari dimana ia kembali pada Tuhannya. Wassalamu Alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh. Wahai Mu’ad bin jabal, shalatlah bersama mereka.”.”sebagaimana Allah SWT menjelaskan dalam Q.S. Ali-Imran : 104  “dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang yang beruntung.Dan Kemudian ia pun meninggal


D.                                           
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan salah satu sahabat yang paling dipercaya oleh Rasulullah maupun sahabat serta para ummat Nabi Muhammad SAW. Sehingga beliau mendapat gelar Aminul Ummah (orang yang terpercaya) dan Amirul Umaro’ (pemimpinnya para pemimpin).
Abu Ubaidah merupakan orang yang sangat mulia, santun serta tawaddhu’ terhadap perintah Rasululloh. Bahkan Abu Ubaidah tidak pernah meninggalkan Rasululloh SAW ketika perang apapun. Beliau juga merupakan orang yang paling kuat serta berani memerangi para kaum musyrik.




DAFTAR PUSTAKA
-          Mahmud, Shalahuddin, As-Sa’id.10 Sahabat Yang Dijamin Surga. Al-Qowam.Surakarta : 2012
-          Abdul,M.Nipan, Halim. Biografi & Keteladan 10 Sahabat Ahli Surga. Pustaka Amani. Jakarta : 2005
-          Artikel http://www.kisahislam.net/2011/12/24/abu-ubaidah-bin-al-jarrah/

-          Artikel http://www.SahabatNabi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar