BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada
dasarnya manusia tidak bisa hidup sendiri.Ia harus hidup bermasyarakat saling
membutuhkan dan saling mempengaruhi. Setiap manusia memiliki kebutuhan sehingga
terjadi pertentangan kehendak. Untuk menjaga keperluan manusia agar tidak
melanggar hak-hak orang lain, maka timbullah hak-hak diantara sesama manusia.
Islam
telah menetapkan adanya hak milik perseorangan maupun kelompok terhadap harta
yang dihasilkan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum syara’.Islam juga
menetapkan cara-cara melindungi hak milik seseorang.untuk mendapatkan hak milik
sesuatu maka seseorang mendapatkannya biasanya dari cara kerja.
Kerja
merupakan suatu cara atau usaha seseorang untuk mendapatkan pendapatan.
Sehingga seseorang dapat memiliki sesuatu dan menjadi hak miliknya karena
didaptkan dari hasil jerih payahnya sendiri.
Kerja
diwajibkan dalam Islam, sehingga setiap manusia di muka bumi ini wajib untuk bekerja
karena tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, juga
menghindari kefakiran. Sebab kefakiran dapat menyebabkan seseorang mengidap
lemahnya iman, timbulnya niat jahat dalam diri sehingga dapat mebahayakan diri
sendiri hingga orang lain.
Pendapatan
merupakan penghasilan dari kerja keras dari yang sudah setiap manusia lakukan
dengan benar dan sungguh-sungguh. Pendapatan akan mempengaruhi banyaknya barang
yang dikonsumsi. Tingkat pendapatan seseorang, daerah, hingga Negara merupakan
salah satu kriteria maju tidaknya seseorang, daerah, dan Negara tersebut.Hingga
kesejahteraan hidup seseorang dapat diukur dari besarnya pendapatan yang
didaptkannya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan hak milik?
2.
Bagaimana
sebab-sebab timbulnya kepemilikan?
3.
Apa
saja jenis-jenis kepemilikan?
4.
Apa
yang diketahui tentang pengertian pendapatan?
5.
Kapan
waktu dibayarkannya pendapatan?
6.
Kapan
dibatalkan dan berakhirnya pembayaran pendapatan?
7.
Apa
yang kamu ketahui tentang prinsip pendapatan?
8.
Bagaimana
pendapatan didistribusikan?
9.
Di
mana sektor-sektor pendapatan didistribusikan?
10.
Apa
yang dimaksud dengan kerja?
11.
Apa
tujuan kerja menurut Islam?
12.
Apa
saja pekerjaan yang dibolehkan oleh Islam?
13.
Pekerjaan
apa saja yang diharamkan oleh Islam?
14.
Bagaimana
prinsip kerja dalam Islam?
15.
Bagaimana
bekerja sesuai dengan etika Islam?
16.
Mengapa
Islam menolak pengangguran?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
pengertian dari hak milik, sebab-sebab timbulnya kepemilikan, dan jenis-jenis
kepemilikan.
2.
Mengetahui
pengertian pendapatan, kapan waktu pembayaran dan berakhirnya pembayaran,
prinsip pendapatan, pendapatan yang didistrusikan dan sektor-sektor pendapatan.
3.
Mengetahui
pengertian dari kerja, tujuan bekerja, pekerjaan apa saja yang dibolehkan oleh
Islam, pekerjaan apa saja yang diharamkan oleh islam, prinsip kerja dalam
Islam, dan bekerja sesuai etika Islam.
4.
Mengetahui
alasan islam menolak penngangguran.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hak Milik (Kepemilikan)
1.
Pengertian Kepemilikan
Kepemilikan (al-milk)
berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang artinya memiliki.
Al-milk merupakan bentuk masdar yang berarti kepemilikan
atau penguasaan terhadap sesuatu harta. Kepemilikan atau al-milk
biasa juga disebut dengan hak milik atau milik saja. Para ahli fiqh
mendefinisikan hak milik (al-milk) sebagai ”kekhususan seseorang
terhadap harta yang diakui syari’ah, sehingga menjadikannya mempunyai
kekuasaan khusus terhadap suatu harta tersebut, baik memanfaatkan dan atau mentasharrufkannya”.
Seseorang yang memiliki mobil dapat memanfaatkan mobil tersebut dan dapat pula
menjual, menyewakan atau meminjamkannya. Menjual, menyewakan atau meinjamkan
disebut sebagai aktivitas tasharruf.
Jika seseorang dapat memanfaatkan dan mentasharufkan suatu harta,
disebut sebagai al-milk al-tam (milik sempurna), sedangkan apabila
seseorang hanya bisa memanfaatkan, tetapi tidak bisa menjualnya disebut hak al-milik
an-naqish (milik tak sempurna), seperti orang yang menyewa sebuah mobil
atau rumah. Demikian pula pemilik sebuah rumah yang menyewakan rumahnya kepada orang lain, dia
memang memiliki (menguasai) rumah tersebut, tetapi dia tidak bisa memanfaatkan
dan tidak bisa menjualnya saat itu. Hak milik yang melekat pada pemilik rumah
dalam kasus ijarah ini disebut hak milik naqish.
Hak Milik terhadap suatu
barang menimbulkan konsekuensi hukum bagi pemiliknya, yaitu pemiliknya memiliki
kekuasaan terhadap barang tersebut untuk mempergunakannya menurut kehendaknya
dan tidak ada orang lain yang dapat menghalanginya. Misalnya Usman memiliki
sepeda motor. Ini berarti bahwa sepeda motor itu dalam kekuasaan dan genggaman
Usman. Dia bebas untuk memanfaatkannya dan orang lain tidak boleh
menghalanginya dan merintanginya dalam menikmati sepeda motornya.
Wahbah al-Zuhaily
memberikan definisi al-milk (hak milik) sebagai berikut :
Hak milik ialah suatu kekhususan terhadap
sesuatu harta yang menghalangi orang lain dari harta tersebut. Pemiliknya bebas
melakukan tasharruf kecuali ada halangan syar’iy.
Muhammad Abu Zahro mendefinisikannya
sebagai berikut :
Hak milik ialah suatu kekhususan terhadap
sesuatu harta yang menghalangi orang lain dari harta tersebut dan memungkinkan
pemiliknya bebas melakukan tasharruf kecuali ada halangan syar’iy.
Dari berbagai definisi
ulama tentang definisi al-milk di atas walaupun dengan redaksi (ungkapan)
yang sedikit berbeda tetapi memiliki inti pengertian yang sama,
yaitu hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang/harta) di mana orang
lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya
selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.
Dari berbagai definisi
tersebut dapat dipahami bahwa dengan adanya kepemilikan (al-milk)
tersebut, pemilik harta bebas untuk melakukan tasharruf atau bertindak
hukum terhadap hartanya, seperti jual beli, hibah, waqaf, menyewakan dan
meminjamkannya kepada orang lain, selama tidak ada halangan dari syari’ah.
Halangan syariah antara lain seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau
masih terlalu kecil sehingga belum bisa melakukan kontrak atau paham
memanfaatkan barang. Termasuk halangan syariah ialah orang yang pailit,
sehingga dalam hal-hal tertentu mereka tidak dapat melakukan tasharruf
(tindakan hukum) terhadap miliknya sendiri
Secara operasional,
definisi hak milik di atas dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang
yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui cara-cara yang dibenarkan oleh
syara', maka terjadilah hak milik pada orang tersebut sehingga tercipta suatu
hubungan khusus (ikhtishash) antara barang tersebut dengan orang yang
memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang
(harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya
sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'ah
tadi.
Dampak hukum syara’
dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya, tidak
berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali si
empunya telah memberikan izin, baik secara lisan ataupun tertulis (surat
kuasa), atau apa saja yang serupa dengan itu seperti via email atau melalui
SMS.
Dalam hukum Islam, si
empunya atau si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau
orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan (menggunakan)
dan mentasharrufkan barang-barang "miliknya", mereka terhalang
oleh hambatan syara' yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki.
Cara transaksinya (tasharrufnya) dilakukan oleh walinya, washi (yang
diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).
2. Sebab-sebab Timbulnya Kepemilikan
Faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam syariah enam macam yaitu:
1) Ihraz al-Mubahat,
Ihraz al-mubahat
ialah cara kepemilikan melalui penguasaan
harta yang mubahat (dibolehkan) yang belum dimiliki seseorang atau Badan
Hukum. Yang dimaksud dengan harta yang diperbolehkan di sini
adalah barang-barang, kekayaan atau asset yang belum dimiliki oleh seseorang
dan tidak ada larangan syara' untuk dimiliki, seperti mengambil kayu di hutan
belantara yang belum dimiliki seseorang, mengambil ikan di tengah lautan,
mengambil air dari sumbernya, rumput dari padangnya, menghidupkan tanah
yang mati yang belum dimiliki orang lain, berburu hewan di hutan, dan
sebagainya. Dalam ihraz al-mubahat terdapat pengertian bahwa penguasaan
seseorang terhadap harta mubahat, merupakan milik awal tanpa didahului oleh
milik sebebelumnya. Halini berbeda dengan kepemilikan karena jual beli,
sebagaimana yang akan dijelaskan nanti. Jadi dalam ihraz al-mubahat seseorang
menjadi memiliki suatu harta tanpa memberikan harta miliknya sebagai imbalan
(tukaran) dengan harta yang lain yang ingin dimilkinya.
2) Melalui transaksi (kontrak / akad),
Hak milik juga dapat diperleh melalui akad, seperti jual beli, hibah,
hadiah, waqf, sedeqah. Hak milik bisa diperoleh dengan melakukan
transaksi jual beli. Perbedaan transaksi jual beli dengan ihraz al-mubahat
ialah dalam transaski seseorang telah memiliki terlebih dahulu suatu
harta, baru kemudian ia pergunakan miliknya itu untuk mendapatkan harta lain
yang ingin ia miliki. Dalam jual beli misalnya, seseorang terlebih dahulu
memiliki uang atau barang, kemudian ia membeli sebuah kenderaan, maka kenderaan
itu menjadi hak milikinya, karena adanya pertukaran (jual beli). Kepemilikan
yang melekat pada hak orang tersebut disebabkan karena adanya jual beli.
Seseorang juga menjadi pemilik suatu harta, jika ada orang lain memberikan
hibah atau hadiah kepadanya atau juga mewaqafkan kepadanya secara khusus.
3)
Melalui khalafiyah (penggantian)
Khalafiyah memiliki
dua bentuk, pertama, warisan, dan kedua, kafalah (tadhmin/ penjaminan). Seseorang
bisa menjadi pemilik suatu harta berdasarkan warisan yang diterimanya
dari keluarga (muwarrisnya) yang meninggal. Ahli waris menggantikan
posisi kepemilikan orang yang diwarisinya, misalnya ayahnya atau ibunya dan
sebagainya. Karena itu, para ulama menyebut sebab kepemilikian ini dengan
khlafiyah, karena adanya unsur penggantian padanya. Selain warisan, khalafiyah
juga mencakup kafalah (penjaminan) dan ta’widh (ganti rugi). Dalam kafalah atau
tadhmin terjadi penggantian posisi kepemilikan dari [pemilik yang lama kepada
pemilik yang baru. Misalnya, Seseorang mengkafalah untuk membayar hutang si A
kepada si B. Ketika Seseorang itu telah membayar (karena kafalah), maka bayaran
sejumlah harta itu menjadi milik si B. Dengan demikian Si B menjadi pemilik
harta tersebut. Pemilik yang baru tersebut secara syariah diakui untuk memiliki
karta karena adanya kafalah. Demikian pula pada kasusu ta’qwidh di mana
dimisalkan seseorang (Si A) menganiaya orang lain misalkan si B , maka si A
harus membayar ganti rugi kepada si B. Dengan adanya ganti rugi tersebut, maka
si B menjadi pemilik harta karena adanya ta’widh. Kafalah dan ta’qwifh
merupakan khalafiyah, karena terjadi peraklhian (penggantian) hak milik dari
pemilik pertama kepada pemilik baru. Peralihan kempelimikan ini bukan karena
jual beli, sehingga membedakannnya dengan akad (transaksi) pada nomor dua di
atas.
4)
Tawallud Min Mamluk (Sesuatru yang lahir/muncul dari harta yang dimiliki)
Maksudnya ialah suatu harta yang berasal dari suatu harta yang telah
dimiliki, separti anak kambing yang lahir dari seekor kambing yang telah
dimiliki, buah dari kebun yang dimiliki, bagi hasil dari tabungan investasi. Hasil dari
saham di perusahaan.
5)
Harta pemberian negara
yang diberikan kepada rakyat
6)
Harta yang diperoleh oleh
seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
a) Hubungan pribadi (hibah atau hadiah)
b) Tebusan (diyat) dari qishash kepada ahli waris yang memaafkan si pembunuh
c) Mendapatkan mahar melalui akad nikah
d) Luqathah (barang temuan)
e) Santunan yang diberikan kepada khalifah atau orang-orang yang disamakan
statusnya (melaksanakan tugas pemerintahan).
Kepemilikan jenis ini
memiliki karakteristik sebagai berikut :
a) Kepenguasaan ini
merupakan sebab yang menimbulkan kepemilikan terhadap suatu barang yang
sebelumnya tidak ada yang memilikinya.
b) Proses kepemilikan ini
adalah karena aksi praktis dan bukan karena ucapan seperti dalam akad.
Karena kepemilikan ini
terjadi oleh sebab aksi praktis, maka dua persyaratan di bawah ini mesti
dipenuhi terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar'i yaitu (i)
belum ada orang lain yang mendahului ke tempat barang tersebut untuk
memperolehnya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, " Siapa yang lebih
dahulu mendapatkan (suatu barang mubah) sebelum saudara Muslim lainnya, maka
barang itu miliknya." (ii) Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang
tersebut harus berniat untuk memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi
miliknya. Hal ini mengacu kepada sabda Rasulullah SAW bahwa segala perkara itu
tergantung pada niat yang dikandungnya.
Bentuk-bentuk kepenguasaan
terhadap barang yang diperbolehkan ini ada empat macam yaitu :
a) Kepemilikan karena menghidupkan tanah mati.
b) Kepemilikan karena berburu atau memancing
c) Rumput atau kayu yang diambil dari padang penggembalaan atau hutan
belantara yang tidak ada pemiliknya.
d) Kepenguasaan atas barang tambang.
Khusus bentuk yang keempat
ini banyak perbedaan di kalangan para fukoha terutama antara madzhab Hanafi dan
madzhab Maliki. Bagi Hanafiyah, hak kepemilikan barang tambang ada pada pemilik
tanah sedangkan bagi Malikiyah kepemilikan barang tambang ada pada negara
karena semua tambang, menurut madzhab ini, tidak dapat dimiliki oleh seseorang
dengan cara kepenguasaannya atas tanah atau tidak dapat dimiliki secara
derivatif dari kepemilikan atas tanah.
3. Jenis-jenis Kepemilikan
a. Hak Milik Negara
1) Menurut Yusanto (2002) hak milik negara sebagai harta seluruh umat yang
pengelolanya menjadi wewenang kepada negara, dimana dia bisa memberikan sesuatu
kepada sebagian umat,sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh kepala
negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki kepala negara untuk
mengelolanya.
2) Menurut Yuliadi(2001) hl milik negara semisal harta
fai’,kharaj,jizyah,harta orang murtad,harta yang tidak memiliki ahli waris dan
tanah milik negara.
Harta milik negara terbagi
sebagai berikut:
1)
Padang pasir,gunung,pantai
dan tnah mati yang tidak ada pemiliknya.
2) Tanah endapan sungai.
3) Bangunan dan balairung
b. Hak Milik Umum
1) Menurut yuliadi (2001),harta milik umum adalah harta yang telah ditetapkan
hak miliknya oleh As-syari’(Allah),dan menjadikan harta tersebut sebagai milik
bersama.
2) Menurut yusanto (2002) berpendapat bahwa seseorang atau sekelompok kecil
orang dibolehkan mendayagunakan harta tersebut,akan tetapi mereka dilarang
untuk menguasainya secara pribadi.
Jenis-jenis harta milik umum menurut Zallum (2002) dikelompokkan menjadi 3
jenis,yaitu:
Barang tambang (sumber
alam yang jumlahnya tak terbatas).
1) Saran-sarana umum yang diperlukan oleh seluruh umat dalam kehidupan
sehari-hari.
2) Harta-harta yang keadaan asalnya terlarang bagi pribadi tertentu untuk
memilikinya.
c. Hak Milik Pribadi
Hak milik pribadi adalah
hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun manfaat (utility) tertentu,yang
memungkinkan siapa saja mendapatkannyauntuk memanfaatkan barang tersebut,serta
memperoleh kompensasi-baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain
(seperti disewa),ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti
dibeli-dari barang tersebut. Oleh karena itu,setiap orang bisa memiliki
kekayaan dengan cara-cara kepemilikan tertentu.
Menurut yuliadi (2001)
akan tampak bahwa sumber sahnya hak milik pribadi adalah sebagai berikut:
1. Bekerja
2. Warisan
3. Untuk menyambung hidup
4. Pemberian negara kepada rakyat
5. Saling menolong/hubungan yang halal antar manusia
B.
PENDAPATAN
1. Pengertian Pendapatan
Pendapatan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hasil kerja, usaha
atau sebagainya. Bisa juga diartikan sebagai uang
yang diterima oleh perorangan, perusahaan dan organisasi lain dalam bentuk
gaji, upah, sewa, komisi, ongkos dan laba. Beberapa pendapat dari para
Ulama tentang pendapatan atau upah, yaitu :
a.
Ulama Hanafiyah
Akad atas
sesuatu kemanfaatan dengan pengganti.
b.
Ulama Asy-Syafi’iyah
Akad atas
sesuatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu yang mubah, serta menerima
pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.
c. Ulama
Malikiyah dan Hambaliyah
Menjadikan
milik sesuatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.
Hadits
Rasulullah SAW tentang pendapatan yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa
Rasulullah SAW bersabda : “ Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu,
Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai
saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang
dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri);
dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu
membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka
(mengerjakannya).”(HR.Muslim).
Dari hadits di atas, maka dapat didefenisikan bahwa Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas
pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (adil dan layak) dan
dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).
2. Waktu Pembayaran
Pendapatan
Pada dasarnya pembayaran upah (pendapatan) harus diberikan
seketika juga, sebagaimana jual beli yang pembayarannya waktu itu juga.Tetapi
sewaktu perjanjian boleh diadakan dengan mendahulukan upah atau
mengakhirkan.Jadi pembayarannya sesuai dengan perjanjiannya.Tetapi kalau ada
perjanjian, harus segera diberikan manakala pekerjaan sudah selesai.
Nabi bersabda:
“Upah harus diberikan sebelum peluhnya kering.” Kematian orang yang mengupah
atau diupah tidak membatalkan akad pengupahan.Artinya, kalau orang yang
mengupah mati, padahal permintaannya sudah dikerjakan oleh orang yang diupah,
keluarganya wajib memberikan upahnya.Tetapi kalau orang yang diupahnya mati
sebelum menerima upahnya, ahli warisnya menerima upahnya.Tetapi kalau mati
sebelum menyelesaikan pekerjaan, urusannya di tangan Allah.Dalam transaksi ini,
bentuk pekerjaan (al-‘amal dan al-juhd), lamanya pekerjaan (muddatu al-‘amal)
dan upah (ujrah) harus jelas.
3. Batal atau Berakhirnya
Pendapatan
Agama
menghendaki agar dalam pelaksanaan upah atau pendapatan itu senantiasa
diperhatikan ketentuan-ketentuan yang bisa menjamin pelaksanaannya yang tidak
merugikan salah satu pihakpun serta terpelihara pula maksud-maksud mulia yang
diinginkanagama.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan pendapatan bagi pekerja, apabila barang yang ditangannya rusak. Menurut ulama Syafi’iyah, jika pekerja bekerja di tempat yang dimiliki oleh penyewa, ia tetap memperoleh pendapatan. Sebaliknya, apabila barang berada di tangannya, ia tidak mendapatkan pendapatan. Ulama Hanafiyah juga hampir senada dengan pendapat di atas. Hanya saja diuraikan lagi:
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan pendapatan bagi pekerja, apabila barang yang ditangannya rusak. Menurut ulama Syafi’iyah, jika pekerja bekerja di tempat yang dimiliki oleh penyewa, ia tetap memperoleh pendapatan. Sebaliknya, apabila barang berada di tangannya, ia tidak mendapatkan pendapatan. Ulama Hanafiyah juga hampir senada dengan pendapat di atas. Hanya saja diuraikan lagi:
a. Jika
benda ada ditangan pekerja
1. Jika
ada bekas pekerjaan, pekerja berhak mendapatkan upah sesuai bekas pekerjaan
tersebut.
2. Jika
tidak ada bekas pekerjaan, pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya
sampai akhir.
b. Jika
benda berada di tangan penyewa. Pekerja berhak mendapat upah setelah selesai
bekerja.
4.
Prinsip
Pendapatan
Menurut
struktur atas legislasi islam, pendapatan yang berhak diterima, dapat
ditentukan melalui dua metode. Metode
pertama adalah ujrah (kompensasi, imbal jasa, upah), sedangkan yang
kedua adalah bagi hasil.Seorang pekerja berhak meminta sejumlah uang sebagai
bentuk kompensasi atas kerja yang dilakukan.Demikian pula berhak meminta bagian
profit atau hasil dengan rasio bagi hasil tertentu sebagai bentuk kompensasi
atas kerja.
Islam menawarkan
suatu penyelesaian yang sangat baik atas masalah pendapatan dan menyelamatkan
kepentingan kedua belah pihak, kelas pekerja dan para tanpa melanggar hak-hak
yang sah dari majikan. Dalam perjanjian (tentang pendapatan) kedua belah pihak
diperingatkan untuk bersikap jujur dan adil dalam semua urusan mereka, sehingga
tidak terjadi tindakan aniaya terhadap orang lain juga tidak merugikan
kepentingannya sendiri.
Penganiayaaan
terhadap para pekerja berarti bahwa mereka tidak dibayar secara adil dan bagian
yang sah dari hasil kerja sama sebagai jatah dari pendapatan mereka tidak
mereka peroleh, sedangkan yang dimaksud dengan penganiayaan terhadap majikan
yaitu mereka dipaksa oleh kekuatan industri untuk membayar pendapatan para
pekerja melebihi dari kemampuan mereka. Oleh karena itu al-Quran memerintahkan kepada
majikan untuk membayar pendapatan para pekerja dengan bagian yang seharusnya
mereka terima sesuai kerja mereka, dan pada saat yang sama dia telah
menyelamatkan kepentingannya sendiri. Demikian pula para pekerja akan dianggap
penindas jika dengan memaksa majikan untuk membayar melebihi kemampuannya.
Prinsip keadilan yang sama tercantum dalam surat al-Jaatsiyah ayat 22.
“Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan
yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya,
dan mereka tidak akan dirugikan.”
Prinsip
dasar ini mengatur kegiatan manusia karena mereka akan diberi balasan di dunia
dan di akhirat. Setiap manusia akan mendapat imbalan dari apa yang telah
dikerjakannya dan masing – masing tidak dirugikan. Ayat ini menjamin tentang
upah yang layak kepada setiap pekerja sesuai dengan apa yang telah disumbangkan
dalam proses produksi, jika ada pengurangan dalam upah mereka tanpa diikuti
oleh berkurangnya sumbangsih mereka, hal itu dianggap ketidakadilan dan
penganiayaan. Ayat ini memperjelas bahwa upah setiap orang itu harus ditentukan
berdasarkan kerjanya dan sumbangsihnya dalam kerja sama produksi dan untuk itu
harus dibayar tidak kurang, juga tidak lebih dari apa yang telah dikerjakannya.
Meskipun
dalam ayat ini terdapat keterangan tentang balasan terhadap manusia di akhirat
kelak terhadap pekerjaan mereka di dunia, akan tetapi prinsip keadilan yang
disebutkan di sini dapat pula diterapkan kepada manusia dalam memperoleh
imbalannya di dunia ini. Oleh karena itu, setiap orang harus di beri pendapatan
penuh sesuai hasil kerjanya dan tidak seorangpun yang harus diperlakukan secara
tidak adil.Pekerja harus memperoleh upahnya sesuai sumbangsihnya terhadap
produksi.Dengan demikian setiap orang memperoleh bagiannya dari deviden Negara
dan tidak seorangpun yang dirugikan.
Sisi
doktrinal (normative) dari teori islam yang mengikat dan menjelaskan
jenis-jenis perolehan pendapatan yang muncul dari kepemilikan sarana-sarana
produksi, juga untuk menjustifikasi izin serta larangan bagi kedua metode
penetapannya. Norma menyatakan seluruh aturan hukum pada saat penemuannya atau
saat berlakunya adalah perolehan pendapatan (al-Kasb) didasarkan pada
kerja yang dicurahkan dalam aktivitas produksi.Kerja yang tercurah merupakan
satu satunya justifikasi dasar bagi pemberian kompensasi kepada si pekerja dari
orang yang memintanya melakukan pekerjaan itu.Orang yang tidak mencurahkan
kerja tidak beroleh justifikasi untuk menerima pendapatan.Norma ini memiliki
pengertian positif dan negatifnya.
Pada sisi positif,
norma ini menggariskan bahwa perolehan pendapatan atas dasar kerja adalah sah.
Sementara pada sisi negatif, norma ini menegaskan ketidakabsahan pendapatan
yang diperoleh tidak atas dasar kerja.
Sisi positif
norma ini tercermin dalam aturan aturan tentang pendapatan atau sewa.
Aturan-aturan tersebut mengizinkan pekerja yang jasa kerjanya tercurah pada
aktivitas produksi tertentu untuk menerima upah sebagai kompensasi atas kerja
yang dicurahkan dalam aktivitas produksi itu.
Sisi negatif
norma ini menafikan setiap pendapatan yang tidak didasarkan pada kerja yang
tercurah dalam aktivitas produksi. Teks yang termaktub dalam kitab An Nihayah
menyatakan bahwa jika melakukan kerja, maka berhak memperoleh surplus.Surplus
yang diterima itu adalah kompensasi atas kerja.Atas dasar keterkaitan perolehan
pendapatan dengan kerja.
5.
Distribusi
Pendapatan Dalam Islam
Distribusi pendapatan dalam Islam
merupakan penyaluran harta yang ada, baik dimiliki oleh pribadi atau umum
(publik) kepada pihak yang berhak menerima yang ditunjukan untuk meningkatkan
kesejahteran masyarakat sesuai dengan syariat. Fokus dari distribusi pendapatan
dalam Islam adalah proses pendistribusiannya. Secara sederhana bisa
digambarkan, kewajiban menyisihkan sebagian harta bagi pihak surplus (berkecukupan)
diyakini sebagai kompensasi atas kekayaannya dan di sisi lain merupakan
insentif (perangsang) untuk kekayaan pihak defisit (berkkekurangan).
Titik berat dalam pemecahan
permasalahan ekonomi adalah bagaimana menciptakan mekanisme distribusi ekonomi
yang adil di tengah masyarakat. Distribusi dalam ekonomi Islam mempunyai makna
yang lebih luas mencakup pengaturan kepemilikan, unsur-unsur produksi,dan
sumber-sumber kekayaan. Dalam ekonomi Islam diatur kaidah distribusi pendapatan, baik antara unsur-unsur produksi
maupun distribusi dalam sistem jaminan sosial.
Islam memberikan batas-batas
tertentu dalam berusaha, memiliki kekayaan dan mentransaksikannya.Dalam
pendistribusian harta kekayaan, Al-Quran telah menetapkan langkah-langkah
tertentu untuk mencapai pemerataan pembagian kekayaan dalam masyarakat secara
objektif, seperti memperkenalkan hukum waris yang memberikan batas kekuasaan
bagi pemilik harta dengan maksud membagi semua harta kekayaan kepada semua
karib kerabat apabila seseorang meninggal dunia.Begitu pula dengan hukum zakat,
infaq, sadaqah, dan bentuk pemberian lainnya juga diatur untuk membagi kekayaan
kepada masyarakat yang membutuhkan. Distribusi pendapatan dalam dunia
perdagangan juga disyariatkan dalam bentuk akad kerja sama, misalnya distribusi
dalam bentuk mudharabah merupakan bentuk distribusi kekayaan dengan
sesama Muslim dalam bentuk investasi yang berorientasi profit sharing.
Pihak pemodal yang mempunyai kelebihan harta membantu orang yang mempunyai
keahlian berusaha, tetapi tidak punya modal.Tujuan aturan-aturan ini menurut
Afzalur Rahman adalah untuk mencegah pemusatan kekayaan kepda golongan
tertentu.Dalam QS 59: 7 dijelaskan. Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang yang
kaya saja di antara kamu.
Al-Quran
berulang kali mengingatkan agar kamu Muslim tidak menyimpan dan menimbun
kekayaan untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi mereka harus memenuhi
kewajiban terhadap keluarga, tetangga, dan orang-orang harus mendapat bantuan.
Ekonomi
Islam terbebas dari kedua kezaliman kapitalisme dan sosialisme.Islam membangun
filosofi dan sistemnya di atas pilar-pilar yang menekankan pada distribusi pra
produksi dan distribusi pendapatan pasca produksi, yaitu pada distribusi
sumber-sumber produksi dan hak kepemilikannya.Apa hak dan kewajiban dari
kepemilikan tersebut. Islam mempunyai perhatian terhadap pemenuhan hak-hak
pekerja dan upah mereka yang adil dan setimpal dengan kewajiban mereka
tunaikan.Secara umum, Islam mengarahkan kegiatan ekonomi berbasis akhlak
al-karimah dengan mewujudkan kebebasan dan keadilan dalam setiap aktivitas
ekonomi.
6.
Sektor-Sektor Distribusi Pendapatan
Sektor-sektor distribusi pendapatan
terbagi pada tiga bentuk, yakni sektor rumah tangga sebagai basis kegiatan
produksi, sektor negara dan sektor industri, seperti yang akan diuraikan
dibawah ini:
a.
Distribusi Pendapatan Sektor Rumah
Tangga
Distribusi
pendapatan dalam konteks rumah tangga tidak terlepas dari shadaqah. Shadaqah
dalam konteks terminologi Al-Quran dapat dipahami dalam dua aspek, yaitu: shadaqah
wajibah dan shadaqah nafilah.berikut pembagian bentuk-bentuk
distribusi pendapatan sektor rumah tangga yakni:
Pertama, shadaqah wajibah berarti bentuk-bentuk
pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan instrumen distribusi pendapatan
berbasis kewajiban
seperti nafkah, zakat, dan warisan.
Kedua, shadaqah nafilah (sunnah) yang berarti
bentuk-bentuk pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan instrumen
distribusi pendapatan berbasis amalan sunah seperti infaq, Aqiqah, dan wakaf.
Ketiga, hudud
(hukuman) adalah instrumen yang bersifat aksidental
dan merupakan konsekuensi dari berbagai tindakan. Atau dengan kata lain,
instrumen ini tidak bisa berdiri sendiri, tanpa adanya tindakan ilegal yang
dilakukan sebelumnya seperti Kafarat, Dam/Diyat, dan Nazar.
b.
Pendapatan Sektor Negara
Prinsip-prinsip
ekonomi yang dibangun di atas nilai moral Islam mencanangkan kepentingan
distribusi pendapatan secara adil.Negara wajib bekerja untuk meningkatkan
kesejahteraan materi bagi lingkungan sosial maupun individu dengan
memaksimalkan pemanfaatan atas sumber daya yang tersedia.Karena itu, negara wajib
mengeluarkan kebijakan yang mengupayakan stabilitas ekonomi, pembangunan sosial
ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang merata dan lain sebagainya.Negara
itu juga bertanggung jawab atas manajemen kepemilikan publik yang
pemanfaatannya diarahkan untuk seluruh anggota masyarakat.
Ajaran Islam
memberikan otoritas kepada pemerintah dalam mengatur pendapatan dan pengeluaran
negara.Pemerintah
diberikan kewenangan mengatur pendapatan negara melalui penarikan pajak
pendapatan BUMN dan sebagainya.Di samping itu, pemerintah juga
diberikan kewenangan untuk membelanjakan anggaran untuk kepentingan bangsa dan negara
misalnya, pemberian subsidi, pembangunan infrastruktur dan lain
sebagainya.Semua keistimewahan tersebut harus diarahkan untuk memenuhi
kepentingan bangsa dan negara.
Kebijakan
ekonomi politik diarahkan untuk melayani kepentingan individu dan umum sekaligus.Model
ini menfokuskan kepada keseimbangan, dan keharmonisan kedua kepentingan
tersebut.Kebiajakn politik ekonomi Islam juga melayani kesejahteraan materil
dan kebutuhan spiritual.Aspek ekonomi politik Islam yang dilakukan oleh para
penguasa adalah dalam rangka mengurusi dan melayani umat.
c.
Distribusi Pendapatan Sektor
Industri
Distribusi
pendapatan sektro industri terdiri dari mudharabah,musyarakah, upah
maupun sewa. Mudharabah merupakan bentuk kerja sama antara pihak pemodal ( shahibul
maal ) dengan pengusaha (mudharib) dengan sistem bagi hasil. Pemodal, sebagai pihak
yang mempunyai kelebihan harta namun, tidak punya kesempatan ataupun waktu
untuk mengembangkan hartanya.Ia mendistribusikan sebagian kekayaannya
kepada pengusaha dalam bentuk investasi jangka pendek ataupun jangka panjang
secara mudharabah (bagi hasil). Musyarakah merupakan kerja sama beberapa pemodal dalam mengelola
suatu usaha dengan sistem bagi hasil.
Distribusi kekayaan seperti ini merupakan bentuk distribusi dalam bentuk investasi,
baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan berhimpunnya beberapa pemodal
dalam mendirikan suatu perusahaan seperti PT ataupun CV tentu akan memberikan
peluang kepada masyarakat menjadi tenaga kerja pada perusahaan tersebut dan
memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendapat pendapatan dalam bentuk
upah/gaji. Di samping itu, rumah tangga yang mempunyai lahan ataupun bangunan
yang digunakan perusahaan juga akan mendapatkan pendapatan dalam bentuk sewa.
C.
KERJA
1. Pengertian Kerja
Setiap
manusia diwajibkan untuk melakukan suatu pekerjaan dan berperilaku baik. Pekerjaan
itupun harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan niat yang ikhlas. Karena
apabila dikerjakan dengan tidak baik maka hasilnya pun tidak akan maksimal.
Kerja
dapat diartikan sebagai usaha, amal, dan apa yang harus dilakukan (diperbuat).
Yaitu suatu sikap atau suatu kegiatan berupa usaha, amal dan apapun yang dapat
dilakukan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kerja merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mendapatkan
pendapatan dari pekerjaan yang mengikuti
syariaat Islam.
Kerja merupakan ibadah dan
diperintahkan oleh Allah SWT.Sebagai bentuk ketaatan seseorang terhadap Allah.Perintah
ini tetap berlaku kepada semua orang tanpa membeda-bedakan pangkat, status dan
jabatan seseorang.
Islam
akan membukakan pintu kerja bagi setiap muslim agar ia dapat memilih pekerjaan
yang sesuai dengan minatnya dan kemampuannya. Namun demikian masih banyak orang
yang enggan untuk bekerja dan berusaha dengan alasan bertawakkal kepada Allah
SWT serta menunggu-nunggu rizki dari langit.
Kerja adalah suatu cara untuk memenuhi
kebutuhan manusia baik kebutuhan fisik, psikologis, maupun sosial. Dengan
pekerjaan manusia akan memperoleh kepuasan-kepuasan tertentu yang meliputi
pemenuhan kebutuhan fisik dan rasa aman, serta kebutuhan sosial dan kebutuhan
ego.
Rezeki adalah urusan Allah, manusia
hanya wajib berusaha sekuat tenaga dan jangan sampai kita merasa angkuh setelah
mendapatkan rezeki yang banyak, karena meskipun telah berusaha semaksimal
mungkin, tanpa campur tangan Allah tidak mungkin rezeki itu akan menghampiri
kita.
2. Tujuan bekerja Menurut Islam
Kita
sebagai manusia memiliki kebutuhan mendasar untuk hidup, beribadah, dan berkarya. Bekerja
mencari nafkah untuk membuat diri seseorang berdaya, merupakan perbuatan wajib
karena dari bekerja tersebut memungkinkan kita memenuhi kewajiban yang lain.
Bekerja
bagi umat Islam tentu tidak hanya dilandasi oleh tujuan-tujuan yang bersifat
duniawi belaka. Lebih dari itu, bekerja adalah untuk beribadah. Bekerja akan
memberikan hasil. Hasil inilah yang memungkinkan kita mendapatkan sandang,
pangan, dan kebutuhan lainnya.
Tujuan bekerja
menurut Islam diantaranya adalah:
a.
Memenuhi
kebutuhan sendiri dan keluarga.
Bekerja
menurut Islam adalah memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga termasuk istri, anak-anak dan orang tua.Islam menghargai semua itu sebagai sedekah, ibadah,
dan amal saleh.
b.
Memenuhi
ibadah dan kepentingan sosial.
Bila
bekerja diaanggap sebagai ibadah yang suci, maka demikian pula harta benda yang
dihasilkannya. Alat-alat
pemuas kebutuhan dan sumber daya manusia, melalui proses kerja adalah hak
orang-orang yang memperolehnya karena kerja keras dari orang tersebut. Jaminan
atas hak milik seseorang, dengan fungsi sosial, melalui institusi zakat,
shadaqah, dan infaq.
(KH.
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, Gema Insani Press, Jakarta,
2002, hlm. 2-26)
3. Kerja yang Dibolehkan oleh Islam
Pada
zaman dahulu, ada yang pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai
Rasulullah, pekerjaan apakah yang paling baik?Beliau bersaabda, “Pekerjaan
seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur
(diberkahi).”(HR. Ahmad 4:141, hasan lighoirihi)
Pekerjaan
di dunia ini sangaat banyak dan beragam, tetapi ada yang sesuai dengan ajaran
Islam dan bertentangan dengan Islam. Lalu pekerjaan seperti apa yang boleh
dilakukan oleh manusia sehingga bisa mendapatkan ridho dari Allah SWT.
a.
Pekerjaan
yang Halal dan Thoyyib
Kita
dapat mengambil pelajaran penting bahwa para sahabat tidak bertanya manakah
pekerjaan yang paling banyak penghasilannya.Namun yang mereka Tanya adalah
manakah pekerjaan yang paling thoyyib (diberkahi).Sehingga dari sini kita dapat
tahu bahwa tujuan
dalam mencari rizki adalah mencari yang paling berkah, bukan mencari
manakah yang paling besar penghasilannya.Karena penghasilan yang banyak belum
tentu barokah.
b.
Pekerjaan
dengan Tangan Sendiri
Contoh
pekerjaan dengan tangan sendiri adalah bercocok tanam, kerajinan, mengolah kayu, pandai
besi, mulis, dan lain sebagainya.
c.
Jual Beli yang Mabrur
Jual
beli yang mabrur
adalah jual beli yang memenuhi syarat dan rukum jual beli, terlepas dari jual
beli yang bermasalah, dibangun di atas kejujuran, serta menghindarkan diri dari
penipuan dan pengelabuan.
Dari
beberapa yang dijabarkan di atas, menurut penulis Taudhihul Ahkam, Syaikh
‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Ali Bassam, pekerjaan terbaik adalah disesuaikan
pada keadaan setiap orang.Yang terpenting adalah setiap pekerjaan haruslah
berisi kebaikan dan tidak ada penipuan serta menjalani kewajiban yang mesti diperhatikan
ketika bekerja.
4. Pekerjaan yang diharamkan
Rasulullah
SAW telah memperingatkan umatnya untuk mewaspadaai pekerjaan-pekerjaan yang
haram. Beliau SAW menyebutkan salah satu tanda rusaknya akhlak umat manusia
dengan ketidakpedulian mereka terhadap cara mencari harta kekayaan. Diantara
pekerjaan yang diharamkan menurut islam adalah:
a.
Pekerjaan yang berupa kesyirikan dan sihir, seperti perdukunan, paranormal,
“orang pintar”, peramal nasib, dan hal-hal yang sejenis
dan semakna dengannya.
b. Memperjualbelikan hal-hal yang diharamkan oleh syariat, seperti
bangkai, babi, darah, minuman keras, narkotika, dan lain sebagainya.
c.
Memakan
harta riba
d.
Menimbun
bahan-bahan perdagangan di saat harganya murah dan dibutuhkan oleh masyarakat
dengan tujuan meraih keuntungan yang berlipat ganda pada saat harganya
melambung tinggi.
e.
Perjudian,
f.
Memakan
harta anak yatim secara dzalim
g.
Mencuri,
mencopet, menjambret, dan merampok.
h.
Mengurangi
timbangan dan takaran
i.
Korupsi
dan penipuan terhadap rakyat
j.
Menunda-nunda
pembayaran gaji buruh dan karyawan atau mengurangi hak-hak mereka.
(Akhir Zaman: Abdur Rahman
Al-Wasithi, Dari: 100 Hadits Tentang Nubuat Akhir Zaman, Az-Zahra Mediatama,
Hal. 102-108)
5. Prinsip Kerja dalam Islam
Islam
adalah agama sempurna yang telah memberikan prinsip-prinsip yang kokoh.Syariat
Islam telah memuat kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang menetapkan berbagai
urusan ibadah dan prinsip-prinsip muamalah dalam satu keserasian dan
keharmonisan yang solid. Maka prinsip-prinsip dalam bekerja menurut perspektif
Islam antara lain:
a.
Niat
bekerja adalah untuk beribadah kepada Allah.
b.
Kerja
adalah amanah untuk memakmurkan alam semesta.
c.
Tujuan
dan orientasi bekerja adalah sebagai invetasi amal saleh untuk kebahagiaan
hidup di akherat sekaligus kebahagiaan hidup di dunia terpenuhi keseimbangan
kebutuhan jasmani dan rohani.
d.
Mencari
penghasilan yang halal.
e.
Bekerja
pada bidang-bidang yang baik serta menghindari segala yang diharamkan.
f.
Menjauhi
muamalah yang mengandung unsur Maysir, Gharar, Riba, dan Bathil.
g.
Mengangkat
dan mendelegasikan pekerjaan pada ahlinya.
h.
Memberikan
hak-hak pekerja
6. Bekerja Sesuai dengan Etika Islam
Melandasi
setiap kegiatan kerja semata-mata ikhlas karena Allah serta untuk memperoleh
rida-Nya. Pekerjaan yang halal bila dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah
tentu akan mendapatkan pahala ibadah.
Rasulullah
saw bersabda , yang artinya : Allah swt
tidak akan menerima amalan, melainkan amalan yang ikhlas dan yang karena untuk
mencari keridaan-Nya(H.R Ibnu Majah)
Mencintai
pekerjaannya. Karena pekerja yang mencinta pekerjaanya, biasanya dalam bekerja
akan tenang, senang, bijaksana, dan akan meraih hasil kerja yang optimal.
Rasulullah
saw bersabda, yang artinya Sesungguhnya
Allah cinta kepada seseorang di antara kamu yang apabila mengerjakan sesuatu
pekerjaan maka ia rapihkan pekerjaan itu.
Mengawali
setiap kegiatan kerjanya dengan ucapan basmalah.Nabi saw bersabda yang artinya
:Setiap urusan yang baik (bermanfaat,
yang tidfak dimulai dengan ucapan basmalah (bismillahirrahmanirrahim,maka
terputus berkahnya.(H.R.Abdul Qahir dari Abu Hurairah)
Melaksanakan
setiap kegiatan kerjanya dengan cara yang halal.Nabi saw bersabda, yang artinya
:Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang
baik,mencintai yang baik (halal), dan tidak menerima (sesuatu) kecuali yang
baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin sesuatu
yang diperintahkan kepada para utusan-Nya (H.R.Muslim dan Tirmidzi)
Tidak
(Haram) melakukan kegiatan kerja yang bersifat mendurhakai Allah. Misalnya bekerja
sebagai germo, pencatat riba (renten), dan pelayan bar.Artinya :“Tidak ada ketaatan terhadap makhluk untuk
mendurhakai sang pencipta”.(H.R.Ahmad bin Hambai dalam musnadnya, dan hakim
dalan Al-Mustadrokanya, kategori hadis shahih)
Tidak
membebani diri, alat-alat produksi, dan hewan pekerja dengan
pekerjaan-pekerjaan di luar batas kemampuan.
Memiliki
sifat-sifat terpuji seperti jujur, dapat dipercaya, suka tolong menolong dalam
kebaikan, dan professional dalam kerjanya
Bersabar
apabila menghadapi hambatan-hambatan dalam kerjanya.Sebaliknya, bersyukur apabila
memperoleh keberhasilan.
Menjaga
keseimbangan antara kerja yang manfaatnya untuk kehidupan di dunia dan yang
manfaatnya untuk kehidupan di akhirat. Seseorang yang sibuk bekerja sehingga
meninggalkan shalat lima waktu, tidak sesuai dengan Islam.
7. Islam Menolak Pengangguran
Islam menuntut umatnya bekerja secara yang disyariatkan atau
dibenarkan menurut syarak bagi menjamin kebaikan bersama dengan mengelakkan
dari meminta-minta dan sebaliknya hendaklah berdikari. Islam sentiasa memandang berat dan menyeru umatnya untuk bekerja
dan berusaha mencari rezeki melalui dua pendekatan berikut:
Islam melarang dan mencegah umatnya meminta-minta dan
menganggur. Banyak hadis
Nabi (s.a.w) mengenai larangan berusaha cara meminta. Baginda sering benar
mengarahkan orang yang datang meminta, supaya mereka bekerja umpamanya, suatu
ketika seorang fakir datang meminta-minta kepada baginda lalu baginda bertanya:
"Adakah anda memiliki sesuatu?" "Tidak", kata lelaki itu.
Baginda bertanya lagi dengan bersungguh-sungguh, lalu lelaki itu menjawab:
"Saya ada sehelai hamparan yang separuhnya kami jadikan alas duduk dan
separuhnya lagi kami buat selimut dan ada sebuah mangkuk yang kami gunakan
untuk minum".Maka baginda bersabda kepadanya: "Bawakan kedua-dua
benda itu kepada saya". Lalu dibawanya kedua-dua barang itu, kemudian Nabi
tunjukkan barang itu kepada orang yang berada di sisi baginda kalau ada sesiapa
yang hendak membelinya. Akhirnya baginda dapat menjualnya dengan harga dua
dirham dan diberikan wang tersebut kepada lelaki itu sambil baginda berkata:
"Belilah makanan untuk keluargamu dengan satu dirham manakala satu dirham
lagi belikanlah sebilah kapak". Kemudian Rasulullah (s.a.w) meminta lelaki
itu datang lagi, lalu lelaki itupun datang dan baginda telah membubuhkan hulu
kapak itu dan menyuruh lelaki itu pergi mencari kayu api sambil baginda
mengatakan kepada lelaki itu supaya lelaki itu tidak akan berjumpa lagi dalam
masa 15 hari. Lelaki itu pergi dan kembali lagi selepas 15 hari sambil membawa
datang 10 dirham, lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah, Allah telah
memberkati saya pada kerja yang tuan suruh saya itu." Maka baginda
Rasulullah (s.a.w) bersabda: "Itu adalah lebih baik daripada anda datang
pada hari kiamat kelak sedang pada muka anda bertanda kerana meminta-minta.
Berdasarkan
banyak hadis mengenai perkara ini, para ulama membuat kesimpulan bahawa
larangan meminta-minta itu bukanlah sekedar perintah bersifat akhlak saja bahkan orang yang menjadikan kerja meminta-minta itu sebagai "profesional", handaklah dikenakan hukuman yang pantas.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hak milik
adalah kekuasaan seseorang terhadap sesuatu atau terhadap suatu barang dan
mempunyai kebebasan bertindak secara bebas terhadap barang tersebut, baik akan
dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri maupun dengan perantara orang
lain.
Hak milik,
Pendapatan dan kerja ini merupakan suatu hal yang saling berkaitan dan
ketergantungan di mana seseorang akan mendapatkan pendapatan ketika mereka
sudah bekerja, melakukan suatu usaha dengan sungguh-sungguh dan kerja keras.
Sehingga setelah kerja dan mendapatkan penghargaan berupa pendapatan atau upah
maka mereka dapat membeli sesuatu yang berguna untuk kehidupan mereka. Sehingga
semua barang tersebut dapat menjadi hak milik orang yang sudah membelinya
dengan hasil keringat, kerja keras mereka sendiri.
Sehingga
apabila seseorang yang tidak memiliki kerja, otomatis mereka tidak memiliki
pendapatan dan mereka tidak bisa membeli sesuatu. Sehingga jika mereka tidak
memiliki pendapatan, bisa saja mereka melakukan kejahatan karena sudah terpaksa.
Akhirnya segala cara dilakukan untuk medapatkan uang. Dari sini juga bisa
disimpulkan bahwa kejahatan meningkat karena pengangguran, seseorang tersebut
tidak bekerja, tidak memiliki pendapatan, dan tidak memiliki hak atas sesuatu
contohnya barang.
B.
Saran
Dengan
penjelasan di atas diharapkan kepada para pembaca untuk dapat memahami dan
mampu untuk mengaplikasikannya. Juga dapat memberikan saran kepada penulis
terkait makalah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar