Selasa, 16 Mei 2017

Kerja, Hak Milik dan Pendapatan

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup sendiri.Ia harus hidup bermasyarakat saling membutuhkan dan saling mempengaruhi. Setiap manusia memiliki kebutuhan sehingga terjadi pertentangan kehendak. Untuk menjaga keperluan manusia agar tidak melanggar hak-hak orang lain, maka timbullah hak-hak diantara sesama manusia.
Islam telah menetapkan adanya hak milik perseorangan maupun kelompok terhadap harta yang dihasilkan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum syara’.Islam juga menetapkan cara-cara melindungi hak milik seseorang.untuk mendapatkan hak milik sesuatu maka seseorang mendapatkannya biasanya dari cara kerja.
Kerja merupakan suatu cara atau usaha seseorang untuk mendapatkan pendapatan. Sehingga seseorang dapat memiliki sesuatu dan menjadi hak miliknya karena didaptkan dari hasil jerih payahnya sendiri.
Kerja diwajibkan dalam Islam, sehingga setiap manusia di muka bumi ini wajib untuk bekerja karena tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, juga menghindari kefakiran. Sebab kefakiran dapat menyebabkan seseorang mengidap lemahnya iman, timbulnya niat jahat dalam diri sehingga dapat mebahayakan diri sendiri hingga orang lain.
Pendapatan merupakan penghasilan dari kerja keras dari yang sudah setiap manusia lakukan dengan benar dan sungguh-sungguh. Pendapatan akan mempengaruhi banyaknya barang yang dikonsumsi. Tingkat pendapatan seseorang, daerah, hingga Negara merupakan salah satu kriteria maju tidaknya seseorang, daerah, dan Negara tersebut.Hingga kesejahteraan hidup seseorang dapat diukur dari besarnya pendapatan yang didaptkannya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan hak milik?
2.      Bagaimana sebab-sebab timbulnya kepemilikan?
3.      Apa saja jenis-jenis kepemilikan?
4.      Apa yang diketahui tentang pengertian pendapatan?
5.      Kapan waktu dibayarkannya pendapatan?
6.      Kapan dibatalkan dan berakhirnya pembayaran pendapatan?
7.      Apa yang kamu ketahui tentang prinsip pendapatan?
8.      Bagaimana pendapatan didistribusikan?
9.      Di mana sektor-sektor pendapatan didistribusikan?
10.  Apa yang dimaksud dengan kerja?
11.  Apa tujuan kerja menurut Islam?
12.  Apa saja pekerjaan yang dibolehkan oleh Islam?
13.  Pekerjaan apa saja yang diharamkan oleh Islam?
14.  Bagaimana prinsip kerja dalam Islam?
15.  Bagaimana bekerja sesuai dengan etika Islam?
16.  Mengapa Islam menolak pengangguran?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian dari hak milik, sebab-sebab timbulnya kepemilikan, dan jenis-jenis kepemilikan.
2.      Mengetahui pengertian pendapatan, kapan waktu pembayaran dan berakhirnya pembayaran, prinsip pendapatan, pendapatan yang didistrusikan dan sektor-sektor pendapatan.
3.      Mengetahui pengertian dari kerja, tujuan bekerja, pekerjaan apa saja yang dibolehkan oleh Islam, pekerjaan apa saja yang diharamkan oleh islam, prinsip kerja dalam Islam, dan bekerja sesuai etika Islam.
4.      Mengetahui alasan islam menolak penngangguran.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hak Milik (Kepemilikan)
1.      Pengertian Kepemilikan
Kepemilikan (al-milk) berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang artinya memiliki. Al-milk merupakan bentuk masdar yang berarti  kepemilikan atau  penguasaan terhadap sesuatu harta. Kepemilikan atau al-milk biasa juga disebut dengan hak milik atau milik saja. Para ahli fiqh mendefinisikan hak milik (al-milk) sebagai  ”kekhususan seseorang terhadap  harta yang diakui syari’ah, sehingga menjadikannya mempunyai kekuasaan khusus terhadap suatu harta tersebut, baik memanfaatkan dan atau mentasharrufkannya”. Seseorang yang memiliki mobil dapat memanfaatkan mobil tersebut dan dapat pula menjual, menyewakan atau meminjamkannya. Menjual, menyewakan atau meinjamkan disebut sebagai aktivitas tasharruf.
Jika seseorang dapat memanfaatkan dan mentasharufkan suatu harta, disebut sebagai al-milk al-tam (milik sempurna), sedangkan apabila seseorang hanya bisa memanfaatkan, tetapi tidak bisa menjualnya disebut hak al-milik an-naqish (milik tak sempurna), seperti orang yang menyewa sebuah mobil atau rumah. Demikian pula pemilik sebuah rumah yang  menyewakan rumahnya kepada orang lain, dia memang memiliki (menguasai) rumah tersebut, tetapi dia tidak bisa memanfaatkan dan tidak bisa menjualnya saat itu. Hak milik yang melekat pada pemilik rumah dalam kasus ijarah ini disebut hak milik naqish.
Hak Milik terhadap suatu barang menimbulkan konsekuensi hukum bagi pemiliknya, yaitu pemiliknya memiliki kekuasaan terhadap barang tersebut untuk mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain yang dapat menghalanginya. Misalnya Usman memiliki sepeda motor. Ini berarti bahwa sepeda motor itu dalam kekuasaan dan genggaman Usman. Dia bebas untuk memanfaatkannya dan orang lain tidak boleh menghalanginya dan merintanginya dalam menikmati sepeda motornya.
Wahbah al-Zuhaily memberikan definisi al-milk (hak milik) sebagai berikut :
Hak milik ialah suatu kekhususan terhadap sesuatu harta yang menghalangi orang lain dari harta tersebut. Pemiliknya bebas melakukan tasharruf kecuali ada halangan syar’iy.
Muhammad Abu Zahro mendefinisikannya sebagai berikut :
Hak milik ialah suatu kekhususan terhadap sesuatu harta yang menghalangi orang lain dari harta tersebut dan memungkinkan pemiliknya bebas melakukan tasharruf kecuali ada halangan syar’iy.
Dari berbagai definisi ulama tentang definisi al-milk di atas walaupun dengan redaksi (ungkapan) yang  sedikit berbeda  tetapi memiliki inti pengertian yang sama, yaitu hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang/harta) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.
Dari berbagai definisi tersebut dapat dipahami bahwa  dengan adanya kepemilikan (al-milk) tersebut, pemilik harta bebas untuk melakukan tasharruf atau bertindak hukum terhadap hartanya, seperti jual beli, hibah, waqaf, menyewakan dan meminjamkannya kepada orang lain, selama tidak ada halangan dari syari’ah. Halangan syariah antara lain seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau masih terlalu kecil sehingga belum bisa melakukan kontrak atau paham memanfaatkan barang. Termasuk halangan syariah ialah orang yang pailit, sehingga dalam hal-hal tertentu mereka tidak dapat melakukan tasharruf (tindakan hukum) terhadap miliknya sendiri
Secara operasional, definisi hak milik di atas dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui cara-cara yang dibenarkan oleh syara', maka terjadilah hak milik pada orang tersebut sehingga tercipta suatu hubungan khusus (ikhtishash) antara barang tersebut dengan orang yang memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang (harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'ah tadi.
Dampak hukum syara’  dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali si empunya telah memberikan izin, baik secara lisan ataupun tertulis (surat kuasa), atau apa saja yang serupa dengan itu seperti via email atau melalui SMS.
Dalam hukum Islam, si empunya atau si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan (menggunakan) dan mentasharrufkan barang-barang "miliknya", mereka terhalang oleh hambatan syara' yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki. Cara transaksinya (tasharrufnya) dilakukan oleh walinya, washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).
2.      Sebab-sebab Timbulnya Kepemilikan
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam syariah enam macam yaitu:
1)      Ihraz al-Mubahat,
Ihraz al-mubahat ialah  cara kepemilikan melalui penguasaan harta yang mubahat (dibolehkan) yang belum dimiliki seseorang atau Badan Hukum. Yang dimaksud dengan harta  yang diperbolehkan di sini adalah barang-barang, kekayaan atau asset yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara' untuk dimiliki, seperti mengambil kayu di hutan belantara yang belum dimiliki seseorang, mengambil ikan di tengah lautan, mengambil air dari sumbernya, rumput dari  padangnya, menghidupkan tanah yang mati yang belum dimiliki orang lain, berburu hewan di hutan, dan sebagainya. Dalam ihraz al-mubahat terdapat pengertian bahwa penguasaan seseorang terhadap harta mubahat, merupakan milik awal tanpa didahului oleh milik sebebelumnya. Halini berbeda  dengan kepemilikan karena jual beli, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti. Jadi dalam ihraz al-mubahat seseorang menjadi memiliki suatu harta tanpa memberikan harta miliknya sebagai imbalan (tukaran) dengan harta yang lain yang ingin dimilkinya.
2)      Melalui transaksi (kontrak / akad),
Hak milik juga dapat diperleh melalui akad, seperti jual beli, hibah, hadiah, waqf, sedeqah. Hak milik bisa diperoleh dengan melakukan transaksi jual beli. Perbedaan transaksi jual beli dengan ihraz al-mubahat ialah dalam transaski  seseorang telah memiliki terlebih dahulu suatu harta, baru kemudian ia pergunakan miliknya itu untuk mendapatkan harta lain yang ingin  ia miliki. Dalam jual beli misalnya, seseorang terlebih dahulu memiliki uang atau barang, kemudian ia membeli sebuah kenderaan, maka kenderaan itu menjadi hak milikinya, karena adanya pertukaran (jual beli). Kepemilikan yang melekat pada hak orang tersebut disebabkan karena adanya jual beli. Seseorang juga menjadi pemilik suatu harta, jika ada orang lain memberikan hibah atau hadiah kepadanya atau juga mewaqafkan kepadanya secara khusus.
3)      Melalui khalafiyah (penggantian)
                        Khalafiyah memiliki dua bentuk, pertama, warisan, dan kedua, kafalah (tadhmin/ penjaminan). Seseorang bisa menjadi pemilik suatu harta berdasarkan warisan yang diterimanya dari  keluarga (muwarrisnya) yang meninggal. Ahli waris menggantikan posisi kepemilikan orang yang diwarisinya, misalnya ayahnya atau ibunya dan sebagainya. Karena itu, para ulama menyebut sebab kepemilikian ini dengan khlafiyah, karena adanya unsur penggantian padanya. Selain warisan, khalafiyah juga mencakup kafalah (penjaminan) dan ta’widh (ganti rugi). Dalam kafalah atau tadhmin terjadi penggantian posisi kepemilikan dari [pemilik yang lama kepada pemilik yang baru. Misalnya, Seseorang mengkafalah untuk membayar hutang si A kepada si B. Ketika Seseorang itu telah membayar (karena kafalah), maka bayaran sejumlah harta itu menjadi milik si B. Dengan demikian Si B menjadi pemilik harta tersebut. Pemilik yang baru tersebut secara syariah diakui untuk memiliki karta karena adanya kafalah. Demikian pula pada kasusu ta’qwidh di mana dimisalkan seseorang (Si A) menganiaya orang lain misalkan si B , maka si A harus membayar ganti rugi kepada si B. Dengan adanya ganti rugi tersebut, maka si B menjadi pemilik harta karena  adanya ta’widh. Kafalah dan ta’qwifh merupakan khalafiyah, karena terjadi peraklhian (penggantian) hak milik dari pemilik pertama kepada pemilik baru. Peralihan kempelimikan ini bukan karena jual beli, sehingga membedakannnya dengan akad (transaksi) pada nomor dua di atas.
4)     Tawallud Min Mamluk (Sesuatru yang lahir/muncul  dari harta yang dimiliki)
                        Maksudnya ialah suatu harta yang berasal dari suatu harta yang telah dimiliki, separti anak kambing yang lahir dari seekor kambing yang telah dimiliki, buah dari kebun yang dimiliki, bagi hasil dari tabungan investasi. Hasil dari saham di perusahaan.
5)     Harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat
6)     Harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
a)      Hubungan pribadi (hibah atau hadiah)
b)      Tebusan (diyat) dari qishash kepada ahli waris yang memaafkan si pembunuh
c)      Mendapatkan mahar melalui akad nikah
d)     Luqathah (barang temuan)
e)      Santunan yang diberikan kepada khalifah atau orang-orang yang disamakan statusnya (melaksanakan tugas pemerintahan).
Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut :
a) Kepenguasaan ini merupakan sebab yang menimbulkan kepemilikan terhadap suatu barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya.
b) Proses kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena ucapan seperti dalam akad.
Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab aksi praktis, maka dua persyaratan di bawah ini mesti dipenuhi terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar'i yaitu (i) belum ada orang lain yang mendahului ke tempat barang tersebut untuk memperolehnya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, " Siapa yang lebih dahulu mendapatkan (suatu barang mubah) sebelum saudara Muslim lainnya, maka barang itu miliknya." (ii) Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya. Hal ini mengacu kepada sabda Rasulullah SAW bahwa segala perkara itu tergantung pada niat yang dikandungnya.
Bentuk-bentuk kepenguasaan terhadap barang yang diperbolehkan ini ada empat macam yaitu :
a)      Kepemilikan karena menghidupkan tanah mati.
b)      Kepemilikan karena berburu atau memancing
c)      Rumput atau kayu yang diambil dari padang penggembalaan atau hutan belantara yang tidak ada pemiliknya.
d)     Kepenguasaan atas barang tambang.
Khusus bentuk yang keempat ini banyak perbedaan di kalangan para fukoha terutama antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Bagi Hanafiyah, hak kepemilikan barang tambang ada pada pemilik tanah sedangkan bagi Malikiyah kepemilikan barang tambang ada pada negara karena semua tambang, menurut madzhab ini, tidak dapat dimiliki oleh seseorang dengan cara kepenguasaannya atas tanah atau tidak dapat dimiliki secara derivatif dari kepemilikan atas tanah.
3.      Jenis-jenis Kepemilikan
a.      Hak Milik Negara
1)      Menurut Yusanto (2002) hak milik negara sebagai harta seluruh umat yang pengelolanya menjadi wewenang kepada negara, dimana dia bisa memberikan sesuatu kepada sebagian umat,sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh kepala negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki kepala negara untuk mengelolanya.
2)      Menurut Yuliadi(2001) hl milik negara semisal harta fai’,kharaj,jizyah,harta orang murtad,harta yang tidak memiliki ahli waris dan tanah milik negara.
Harta milik negara terbagi sebagai berikut:
1)      Padang pasir,gunung,pantai dan tnah mati yang tidak ada pemiliknya.
2)      Tanah endapan sungai.
3)      Bangunan dan balairung
b.      Hak Milik Umum
1)      Menurut yuliadi (2001),harta milik umum adalah harta yang telah ditetapkan hak miliknya oleh As-syari’(Allah),dan menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama.
2)      Menurut yusanto (2002) berpendapat bahwa seseorang atau sekelompok kecil orang dibolehkan mendayagunakan harta tersebut,akan tetapi mereka dilarang untuk menguasainya secara pribadi.
Jenis-jenis harta milik umum menurut Zallum (2002) dikelompokkan menjadi 3 jenis,yaitu:
Barang tambang (sumber alam yang jumlahnya tak terbatas).
1)      Saran-sarana umum yang diperlukan oleh seluruh umat dalam kehidupan sehari-hari.
2)      Harta-harta yang keadaan asalnya terlarang bagi pribadi tertentu untuk memilikinya.
c.       Hak Milik Pribadi
Hak milik pribadi adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun manfaat (utility) tertentu,yang memungkinkan siapa saja mendapatkannyauntuk memanfaatkan barang tersebut,serta memperoleh kompensasi-baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain (seperti disewa),ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli-dari barang tersebut. Oleh karena itu,setiap orang bisa memiliki kekayaan dengan cara-cara kepemilikan tertentu.
Menurut yuliadi (2001) akan tampak bahwa sumber sahnya hak milik pribadi adalah sebagai berikut:
1.      Bekerja
2.      Warisan
3.      Untuk menyambung hidup
4.      Pemberian negara kepada rakyat
5.      Saling menolong/hubungan yang halal antar manusia

B.     PENDAPATAN
1.      Pengertian Pendapatan
Pendapatan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hasil kerja, usaha atau sebagainya. Bisa juga diartikan sebagai uang yang diterima oleh perorangan, perusahaan dan organisasi lain dalam bentuk gaji, upah, sewa, komisi, ongkos dan laba. Beberapa pendapat dari para Ulama tentang pendapatan atau upah, yaitu :
a.       Ulama Hanafiyah
Akad atas sesuatu kemanfaatan dengan pengganti.
b.      Ulama Asy-Syafi’iyah
Akad atas sesuatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu yang mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.
c.   Ulama Malikiyah dan Hambaliyah
Menjadikan milik sesuatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.
Hadits Rasulullah SAW tentang pendapatan yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah SAW bersabda : “ Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).”(HR.Muslim).
Dari hadits di atas, maka dapat didefenisikan bahwa Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (adil dan layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).
2.      Waktu Pembayaran Pendapatan
Pada dasarnya pembayaran upah (pendapatan) harus diberikan seketika juga, sebagaimana jual beli yang pembayarannya waktu itu juga.Tetapi sewaktu perjanjian boleh diadakan dengan mendahulukan upah atau mengakhirkan.Jadi pembayarannya sesuai dengan perjanjiannya.Tetapi kalau ada perjanjian, harus segera diberikan manakala pekerjaan sudah selesai.
Nabi bersabda: “Upah harus diberikan sebelum peluhnya kering.” Kematian orang yang mengupah atau diupah tidak membatalkan akad pengupahan.Artinya, kalau orang yang mengupah mati, padahal permintaannya sudah dikerjakan oleh orang yang diupah, keluarganya wajib memberikan upahnya.Tetapi kalau orang yang diupahnya mati sebelum menerima upahnya, ahli warisnya menerima upahnya.Tetapi kalau mati sebelum menyelesaikan pekerjaan, urusannya di tangan Allah.Dalam transaksi ini, bentuk pekerjaan (al-‘amal dan al-juhd), lamanya pekerjaan (muddatu al-‘amal) dan upah (ujrah) harus jelas.
3.      Batal atau Berakhirnya Pendapatan
Agama menghendaki agar dalam pelaksanaan upah atau pendapatan itu senantiasa diperhatikan ketentuan-ketentuan yang bisa menjamin pelaksanaannya yang tidak merugikan salah satu pihakpun serta terpelihara pula maksud-maksud mulia yang diinginkanagama.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan pendapatan bagi pekerja, apabila barang yang ditangannya rusak. Menurut ulama Syafi’iyah, jika pekerja bekerja di tempat yang dimiliki oleh penyewa, ia tetap memperoleh pendapatan. Sebaliknya, apabila barang berada di tangannya, ia tidak mendapatkan pendapatan. Ulama Hanafiyah juga hampir senada dengan pendapat di atas. Hanya saja diuraikan lagi:
a.       Jika benda ada ditangan pekerja
1.       Jika ada bekas pekerjaan, pekerja berhak mendapatkan upah sesuai bekas pekerjaan tersebut.
2.       Jika tidak ada bekas pekerjaan, pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sampai akhir.
b.      Jika benda berada di tangan penyewa. Pekerja berhak mendapat upah setelah selesai bekerja.
4.      Prinsip Pendapatan
Menurut struktur atas legislasi islam, pendapatan yang berhak diterima, dapat ditentukan  melalui dua metode. Metode pertama adalah ujrah (kompensasi, imbal jasa, upah), sedangkan yang kedua adalah bagi hasil.Seorang pekerja berhak meminta sejumlah uang sebagai bentuk kompensasi atas kerja yang dilakukan.Demikian pula berhak meminta bagian profit atau hasil dengan rasio bagi hasil tertentu sebagai bentuk kompensasi atas kerja.
Islam menawarkan suatu penyelesaian yang sangat baik atas masalah pendapatan dan menyelamatkan kepentingan kedua belah pihak, kelas pekerja dan para tanpa melanggar hak-hak yang sah dari majikan. Dalam perjanjian (tentang pendapatan) kedua belah pihak diperingatkan untuk bersikap jujur dan adil dalam semua urusan mereka, sehingga tidak terjadi tindakan aniaya terhadap orang lain juga tidak merugikan kepentingannya sendiri.
Penganiayaaan terhadap para pekerja berarti bahwa mereka tidak dibayar secara adil dan bagian yang sah dari hasil kerja sama sebagai jatah dari pendapatan mereka tidak mereka peroleh, sedangkan yang dimaksud dengan penganiayaan terhadap majikan yaitu mereka dipaksa oleh kekuatan industri untuk membayar pendapatan para pekerja melebihi dari kemampuan mereka. Oleh karena itu al-Quran memerintahkan kepada majikan untuk membayar pendapatan para pekerja dengan bagian yang seharusnya mereka terima sesuai kerja mereka, dan pada saat yang sama dia telah menyelamatkan kepentingannya sendiri. Demikian pula para pekerja akan dianggap penindas jika dengan memaksa majikan untuk membayar melebihi kemampuannya. Prinsip keadilan yang sama tercantum dalam surat al-Jaatsiyah ayat 22.
“Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan.”
Prinsip dasar ini mengatur kegiatan manusia karena mereka akan diberi balasan di dunia dan di akhirat. Setiap manusia akan mendapat imbalan dari apa yang telah dikerjakannya dan masing – masing tidak dirugikan. Ayat ini menjamin tentang upah yang layak kepada setiap pekerja sesuai dengan apa yang telah disumbangkan dalam proses produksi, jika ada pengurangan dalam upah mereka tanpa diikuti oleh berkurangnya sumbangsih mereka, hal itu dianggap ketidakadilan dan penganiayaan. Ayat ini memperjelas bahwa upah setiap orang itu harus ditentukan berdasarkan kerjanya dan sumbangsihnya dalam kerja sama produksi dan untuk itu harus dibayar tidak kurang, juga tidak lebih dari apa yang telah dikerjakannya.
Meskipun dalam ayat ini terdapat keterangan tentang balasan terhadap manusia di akhirat kelak terhadap pekerjaan mereka di dunia, akan tetapi prinsip keadilan yang disebutkan di sini dapat pula diterapkan kepada manusia dalam memperoleh imbalannya di dunia ini. Oleh karena itu, setiap orang harus di beri pendapatan penuh sesuai hasil kerjanya dan tidak seorangpun yang harus diperlakukan secara tidak adil.Pekerja harus memperoleh upahnya sesuai sumbangsihnya terhadap produksi.Dengan demikian setiap orang memperoleh bagiannya dari deviden Negara dan tidak seorangpun yang dirugikan.
Sisi doktrinal (normative) dari teori islam yang mengikat dan menjelaskan jenis-jenis perolehan pendapatan yang muncul dari kepemilikan sarana-sarana produksi, juga untuk menjustifikasi izin serta larangan bagi kedua metode penetapannya. Norma menyatakan seluruh aturan hukum pada saat penemuannya atau saat berlakunya adalah perolehan pendapatan (al-Kasb) didasarkan pada kerja yang dicurahkan dalam aktivitas produksi.Kerja yang tercurah merupakan satu satunya justifikasi dasar bagi pemberian kompensasi kepada si pekerja dari orang yang memintanya melakukan pekerjaan itu.Orang yang tidak mencurahkan kerja tidak beroleh justifikasi untuk menerima pendapatan.Norma ini memiliki pengertian positif dan negatifnya.
Pada sisi positif, norma ini menggariskan bahwa perolehan pendapatan atas dasar kerja adalah sah. Sementara pada sisi negatif, norma ini menegaskan ketidakabsahan pendapatan yang diperoleh tidak atas dasar kerja.
Sisi positif norma ini tercermin dalam aturan aturan tentang pendapatan atau sewa. Aturan-aturan tersebut mengizinkan pekerja yang jasa kerjanya tercurah pada aktivitas produksi tertentu untuk menerima upah sebagai kompensasi atas kerja yang dicurahkan dalam aktivitas produksi itu.
Sisi negatif norma ini menafikan setiap pendapatan yang tidak didasarkan pada kerja yang tercurah dalam aktivitas produksi. Teks yang termaktub dalam kitab An Nihayah menyatakan bahwa jika melakukan kerja, maka berhak memperoleh surplus.Surplus yang diterima itu adalah kompensasi atas kerja.Atas dasar keterkaitan perolehan pendapatan dengan kerja.

5.      Distribusi Pendapatan Dalam Islam
Distribusi pendapatan dalam Islam merupakan penyaluran harta yang ada, baik dimiliki oleh pribadi atau umum (publik) kepada pihak yang berhak menerima yang ditunjukan untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat sesuai dengan syariat. Fokus dari distribusi pendapatan dalam Islam adalah proses pendistribusiannya. Secara sederhana bisa digambarkan, kewajiban menyisihkan sebagian harta bagi pihak surplus (berkecukupan) diyakini sebagai kompensasi atas kekayaannya dan di sisi lain merupakan insentif (perangsang) untuk kekayaan pihak defisit (berkkekurangan).
Titik berat dalam pemecahan permasalahan ekonomi adalah bagaimana menciptakan mekanisme distribusi ekonomi yang adil di tengah masyarakat. Distribusi dalam ekonomi Islam mempunyai makna yang lebih luas mencakup pengaturan kepemilikan, unsur-unsur produksi,dan sumber-sumber kekayaan. Dalam ekonomi Islam diatur kaidah distribusi  pendapatan, baik antara unsur-unsur produksi maupun distribusi dalam sistem jaminan sosial.
Islam memberikan batas-batas tertentu dalam berusaha, memiliki kekayaan dan mentransaksikannya.Dalam pendistribusian harta kekayaan, Al-Quran telah menetapkan langkah-langkah tertentu untuk mencapai pemerataan pembagian kekayaan dalam masyarakat secara objektif, seperti memperkenalkan hukum waris yang memberikan batas kekuasaan bagi pemilik harta dengan maksud membagi semua harta kekayaan kepada semua karib kerabat apabila seseorang meninggal dunia.Begitu pula dengan hukum zakat, infaq, sadaqah, dan bentuk pemberian lainnya juga diatur untuk membagi kekayaan kepada masyarakat yang membutuhkan. Distribusi pendapatan dalam dunia perdagangan juga disyariatkan dalam bentuk akad kerja sama, misalnya distribusi dalam bentuk mudharabah merupakan bentuk distribusi kekayaan dengan sesama Muslim dalam bentuk investasi yang berorientasi profit sharing. Pihak pemodal yang mempunyai kelebihan harta membantu orang yang mempunyai keahlian berusaha, tetapi tidak punya modal.Tujuan aturan-aturan ini menurut Afzalur Rahman adalah untuk mencegah pemusatan kekayaan kepda golongan tertentu.Dalam QS 59: 7 dijelaskan. Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang yang kaya saja di antara kamu.
Al-Quran berulang kali mengingatkan agar kamu Muslim tidak menyimpan dan menimbun kekayaan untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi mereka harus memenuhi kewajiban terhadap keluarga, tetangga, dan orang-orang harus mendapat bantuan.
Ekonomi Islam terbebas dari kedua kezaliman kapitalisme dan sosialisme.Islam membangun filosofi dan sistemnya di atas pilar-pilar yang menekankan pada distribusi pra produksi dan distribusi pendapatan pasca produksi, yaitu pada distribusi sumber-sumber produksi dan hak kepemilikannya.Apa hak dan kewajiban dari kepemilikan tersebut. Islam mempunyai perhatian terhadap pemenuhan hak-hak pekerja dan upah mereka yang adil dan setimpal dengan kewajiban mereka tunaikan.Secara umum, Islam mengarahkan kegiatan ekonomi berbasis akhlak al-karimah dengan mewujudkan kebebasan dan keadilan dalam setiap aktivitas ekonomi.
6.      Sektor-Sektor Distribusi Pendapatan
Sektor-sektor distribusi pendapatan terbagi pada tiga bentuk, yakni sektor rumah tangga sebagai basis kegiatan produksi, sektor negara dan sektor industri, seperti yang akan diuraikan dibawah ini:
a.      Distribusi Pendapatan Sektor Rumah Tangga
Distribusi pendapatan dalam konteks rumah tangga tidak terlepas dari shadaqah. Shadaqah dalam konteks terminologi Al-Quran dapat dipahami dalam dua aspek, yaitu: shadaqah wajibah dan shadaqah nafilah.berikut pembagian bentuk-bentuk distribusi pendapatan sektor rumah tangga yakni:
Pertama, shadaqah wajibah berarti bentuk-bentuk pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan instrumen distribusi pendapatan berbasis kewajiban seperti nafkah, zakat, dan warisan.
Kedua, shadaqah nafilah (sunnah) yang berarti bentuk-bentuk pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan instrumen distribusi pendapatan berbasis amalan sunah seperti infaq, Aqiqah, dan wakaf.
Ketiga, hudud (hukuman) adalah instrumen yang bersifat aksidental dan merupakan konsekuensi dari berbagai tindakan. Atau dengan kata lain, instrumen ini tidak bisa berdiri sendiri, tanpa adanya tindakan ilegal yang dilakukan sebelumnya seperti Kafarat, Dam/Diyat, dan Nazar.
b.      Pendapatan Sektor Negara
Prinsip-prinsip ekonomi yang dibangun di atas nilai moral Islam mencanangkan kepentingan distribusi pendapatan secara adil.Negara wajib bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan materi bagi lingkungan sosial maupun individu dengan memaksimalkan pemanfaatan atas sumber daya yang tersedia.Karena itu, negara wajib mengeluarkan kebijakan yang mengupayakan stabilitas ekonomi, pembangunan sosial ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang merata dan lain sebagainya.Negara itu juga bertanggung jawab atas manajemen kepemilikan publik yang pemanfaatannya diarahkan untuk seluruh anggota masyarakat.
Ajaran Islam memberikan otoritas kepada pemerintah dalam mengatur pendapatan dan pengeluaran negara.Pemerintah diberikan kewenangan mengatur pendapatan negara melalui penarikan pajak pendapatan BUMN dan sebagainya.Di samping itu, pemerintah juga diberikan kewenangan untuk membelanjakan anggaran untuk kepentingan bangsa dan negara misalnya, pemberian subsidi, pembangunan infrastruktur dan lain sebagainya.Semua keistimewahan tersebut harus diarahkan untuk memenuhi kepentingan bangsa dan negara.
Kebijakan ekonomi politik diarahkan untuk melayani kepentingan individu dan umum sekaligus.Model ini menfokuskan kepada keseimbangan, dan keharmonisan kedua kepentingan tersebut.Kebiajakn politik ekonomi Islam juga melayani kesejahteraan materil dan kebutuhan spiritual.Aspek ekonomi politik Islam yang dilakukan oleh para penguasa adalah dalam rangka mengurusi dan melayani umat.
c.       Distribusi Pendapatan Sektor Industri
Distribusi pendapatan sektro industri terdiri dari mudharabah,musyarakah, upah maupun sewa. Mudharabah merupakan bentuk kerja sama antara pihak pemodal ( shahibul maal ) dengan pengusaha (mudharib) dengan sistem bagi hasil. Pemodal, sebagai pihak yang mempunyai kelebihan harta namun, tidak punya kesempatan ataupun waktu untuk mengembangkan hartanya.Ia mendistribusikan sebagian kekayaannya kepada pengusaha dalam bentuk investasi jangka pendek ataupun jangka panjang secara mudharabah (bagi hasil). Musyarakah merupakan kerja sama beberapa pemodal dalam mengelola suatu usaha dengan sistem bagi hasil. Distribusi kekayaan seperti ini merupakan bentuk distribusi dalam bentuk investasi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan berhimpunnya beberapa pemodal dalam mendirikan suatu perusahaan seperti PT ataupun CV tentu akan memberikan peluang kepada masyarakat menjadi tenaga kerja pada perusahaan tersebut dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendapat pendapatan dalam bentuk upah/gaji. Di samping itu, rumah tangga yang mempunyai lahan ataupun bangunan yang digunakan perusahaan juga akan mendapatkan pendapatan dalam bentuk sewa.

C.    KERJA
1.      Pengertian Kerja
Setiap manusia diwajibkan untuk melakukan suatu pekerjaan dan berperilaku baik. Pekerjaan itupun harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan niat yang ikhlas. Karena apabila dikerjakan dengan tidak baik maka hasilnya pun tidak akan maksimal.
            Kerja dapat diartikan sebagai usaha, amal, dan apa yang harus dilakukan (diperbuat). Yaitu suatu sikap atau suatu kegiatan berupa usaha, amal dan apapun yang dapat dilakukan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kerja merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mendapatkan pendapatan dari  pekerjaan yang mengikuti syariaat Islam.
            Kerja merupakan ibadah dan diperintahkan oleh Allah SWT.Sebagai bentuk ketaatan seseorang terhadap Allah.Perintah ini tetap berlaku kepada semua orang tanpa membeda-bedakan pangkat, status dan jabatan seseorang.
Islam akan membukakan pintu kerja bagi setiap muslim agar ia dapat memilih pekerjaan yang sesuai dengan minatnya dan kemampuannya. Namun demikian masih banyak orang yang enggan untuk bekerja dan berusaha dengan alasan bertawakkal kepada Allah SWT serta menunggu-nunggu rizki dari langit.
            Kerja adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik kebutuhan fisik, psikologis, maupun sosial. Dengan pekerjaan manusia akan memperoleh kepuasan-kepuasan tertentu yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik dan rasa aman, serta kebutuhan sosial dan kebutuhan ego.
            Rezeki adalah urusan Allah, manusia hanya wajib berusaha sekuat tenaga dan jangan sampai kita merasa angkuh setelah mendapatkan rezeki yang banyak, karena meskipun telah berusaha semaksimal mungkin, tanpa campur tangan Allah tidak mungkin rezeki itu akan menghampiri kita.
2.      Tujuan bekerja Menurut Islam
Kita sebagai manusia memiliki kebutuhan mendasar untuk  hidup, beribadah, dan berkarya. Bekerja mencari nafkah untuk membuat diri seseorang berdaya, merupakan perbuatan wajib karena dari bekerja tersebut memungkinkan kita memenuhi kewajiban yang lain.
Bekerja bagi umat Islam tentu tidak hanya dilandasi oleh tujuan-tujuan yang bersifat duniawi belaka. Lebih dari itu, bekerja adalah untuk beribadah. Bekerja akan memberikan hasil. Hasil inilah yang memungkinkan kita mendapatkan sandang, pangan, dan kebutuhan lainnya.
Tujuan bekerja menurut Islam diantaranya adalah:
a.       Memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga.
Bekerja menurut Islam adalah memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga termasuk istri, anak-anak dan orang tua.Islam menghargai semua itu sebagai sedekah, ibadah, dan amal saleh.
b.      Memenuhi ibadah dan kepentingan sosial.
Bila bekerja diaanggap sebagai ibadah yang suci, maka demikian pula harta benda yang dihasilkannya. Alat-alat pemuas kebutuhan dan sumber daya manusia, melalui proses kerja adalah hak orang-orang yang memperolehnya karena kerja keras dari orang tersebut. Jaminan atas hak milik seseorang, dengan fungsi sosial, melalui institusi zakat, shadaqah, dan infaq.
(KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2002, hlm. 2-26)
3.      Kerja yang Dibolehkan oleh Islam
Pada zaman dahulu, ada yang pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, pekerjaan apakah yang paling baik?Beliau bersaabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi).”(HR. Ahmad 4:141, hasan lighoirihi)
Pekerjaan di dunia ini sangaat banyak dan beragam, tetapi ada yang sesuai dengan ajaran Islam dan bertentangan dengan Islam. Lalu pekerjaan seperti apa yang boleh dilakukan oleh manusia sehingga bisa mendapatkan  ridho dari Allah SWT.
a.       Pekerjaan yang Halal dan Thoyyib
Kita dapat mengambil pelajaran penting bahwa para sahabat tidak bertanya manakah pekerjaan yang paling banyak penghasilannya.Namun yang mereka Tanya adalah manakah pekerjaan yang paling thoyyib (diberkahi).Sehingga dari sini kita dapat tahu bahwa tujuan dalam mencari rizki adalah mencari yang paling berkah, bukan mencari manakah yang paling besar penghasilannya.Karena penghasilan yang banyak belum tentu barokah.
b.      Pekerjaan dengan Tangan Sendiri
Contoh pekerjaan dengan tangan sendiri adalah bercocok tanam, kerajinan, mengolah kayu, pandai besi, mulis, dan lain sebagainya.
c.       Jual  Beli yang Mabrur
Jual beli yang mabrur adalah jual beli yang memenuhi syarat dan rukum jual beli, terlepas dari jual beli yang bermasalah, dibangun di atas kejujuran, serta menghindarkan diri dari penipuan dan pengelabuan.
Dari beberapa yang dijabarkan di atas, menurut penulis Taudhihul Ahkam, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Ali Bassam, pekerjaan terbaik adalah disesuaikan pada keadaan setiap orang.Yang terpenting adalah setiap pekerjaan haruslah berisi kebaikan dan tidak ada penipuan serta menjalani kewajiban yang mesti diperhatikan ketika bekerja.
4.      Pekerjaan yang diharamkan
Rasulullah SAW telah memperingatkan umatnya untuk mewaspadaai pekerjaan-pekerjaan yang haram. Beliau SAW menyebutkan salah satu tanda rusaknya akhlak umat manusia dengan ketidakpedulian mereka terhadap cara mencari harta kekayaan. Diantara pekerjaan yang diharamkan menurut islam adalah:
a.       Pekerjaan  yang berupa kesyirikan dan sihir, seperti perdukunan, paranormal,  “orang pintar”, peramal nasib, dan hal-hal yang sejenis dan semakna dengannya.
b.      Memperjualbelikan hal-hal yang diharamkan oleh syariat, seperti bangkai, babi, darah, minuman keras, narkotika, dan lain sebagainya.
c.       Memakan harta riba
d.      Menimbun bahan-bahan perdagangan di saat harganya murah dan dibutuhkan oleh masyarakat dengan tujuan meraih keuntungan yang berlipat ganda pada saat harganya melambung tinggi.
e.       Perjudian,
f.       Memakan harta anak yatim secara dzalim
g.      Mencuri, mencopet, menjambret, dan merampok.
h.      Mengurangi timbangan dan takaran
i.        Korupsi dan penipuan terhadap rakyat
j.        Menunda-nunda pembayaran gaji buruh dan karyawan atau mengurangi hak-hak mereka.
(Akhir Zaman: Abdur Rahman Al-Wasithi, Dari: 100 Hadits Tentang Nubuat Akhir Zaman, Az-Zahra Mediatama, Hal. 102-108)
5.      Prinsip Kerja dalam Islam
Islam adalah agama sempurna yang telah memberikan prinsip-prinsip yang kokoh.Syariat Islam telah memuat kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang menetapkan berbagai urusan ibadah dan prinsip-prinsip muamalah dalam satu keserasian dan keharmonisan yang solid. Maka prinsip-prinsip dalam bekerja menurut perspektif Islam antara lain:
a.       Niat bekerja adalah untuk beribadah kepada Allah.
b.      Kerja adalah amanah untuk memakmurkan alam semesta.
c.       Tujuan dan orientasi bekerja adalah sebagai invetasi amal saleh untuk kebahagiaan hidup di akherat sekaligus kebahagiaan hidup di dunia terpenuhi keseimbangan kebutuhan jasmani dan rohani.
d.      Mencari penghasilan yang halal.
e.       Bekerja pada bidang-bidang yang baik serta menghindari segala yang diharamkan.
f.       Menjauhi muamalah yang mengandung unsur Maysir, Gharar, Riba, dan Bathil.
g.      Mengangkat dan mendelegasikan pekerjaan pada ahlinya.
h.      Memberikan hak-hak pekerja
6.      Bekerja Sesuai dengan Etika Islam
Melandasi setiap kegiatan kerja semata-mata ikhlas karena Allah serta untuk memperoleh rida-Nya. Pekerjaan yang halal bila dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah tentu akan mendapatkan pahala ibadah.
Rasulullah saw bersabda , yang artinya : Allah swt tidak akan menerima amalan, melainkan amalan yang ikhlas dan yang karena untuk mencari keridaan-Nya(H.R Ibnu Majah)
Mencintai pekerjaannya. Karena pekerja yang mencinta pekerjaanya, biasanya dalam bekerja akan tenang, senang, bijaksana, dan akan meraih hasil kerja yang optimal.
Rasulullah saw bersabda, yang artinya Sesungguhnya Allah cinta kepada seseorang di antara kamu yang apabila mengerjakan sesuatu pekerjaan maka ia rapihkan pekerjaan itu.
Mengawali setiap kegiatan kerjanya dengan ucapan basmalah.Nabi saw bersabda yang artinya :Setiap urusan yang baik (bermanfaat, yang tidfak dimulai dengan ucapan basmalah (bismillahirrahmanirrahim,maka terputus berkahnya.(H.R.Abdul Qahir dari Abu Hurairah)
Melaksanakan setiap kegiatan kerjanya dengan cara yang halal.Nabi saw bersabda, yang artinya :Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang baik,mencintai yang baik (halal), dan tidak menerima (sesuatu) kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin sesuatu yang diperintahkan kepada para utusan-Nya (H.R.Muslim dan Tirmidzi)
Tidak (Haram) melakukan kegiatan kerja yang bersifat mendurhakai Allah. Misalnya bekerja sebagai germo, pencatat riba (renten), dan pelayan bar.Artinya :“Tidak ada ketaatan terhadap makhluk untuk mendurhakai sang pencipta”.(H.R.Ahmad bin Hambai dalam musnadnya, dan hakim dalan Al-Mustadrokanya, kategori hadis shahih)
Tidak membebani diri, alat-alat produksi, dan hewan pekerja dengan pekerjaan-pekerjaan di luar batas kemampuan.
Memiliki sifat-sifat terpuji seperti jujur, dapat dipercaya, suka tolong menolong dalam kebaikan, dan professional dalam kerjanya
Bersabar apabila menghadapi hambatan-hambatan dalam kerjanya.Sebaliknya, bersyukur apabila memperoleh keberhasilan.
Menjaga keseimbangan antara kerja yang manfaatnya untuk kehidupan di dunia dan yang manfaatnya untuk kehidupan di akhirat. Seseorang yang sibuk bekerja sehingga meninggalkan shalat lima waktu, tidak sesuai dengan Islam.
7.      Islam Menolak Pengangguran
Islam menuntut umatnya bekerja secara yang disyariatkan atau dibenarkan menurut syarak bagi menjamin kebaikan bersama dengan mengelakkan dari meminta-minta dan sebaliknya hendaklah berdikari. Islam sentiasa memandang berat dan menyeru umatnya untuk bekerja dan berusaha mencari rezeki melalui dua pendekatan berikut:
Islam melarang dan mencegah umatnya meminta-minta dan menganggur. Banyak hadis Nabi (s.a.w) mengenai larangan berusaha cara meminta. Baginda sering benar mengarahkan orang yang datang meminta, supaya mereka bekerja umpamanya, suatu ketika seorang fakir datang meminta-minta kepada baginda lalu baginda bertanya: "Adakah anda memiliki sesuatu?" "Tidak", kata lelaki itu. Baginda bertanya lagi dengan bersungguh-sungguh, lalu lelaki itu menjawab: "Saya ada sehelai hamparan yang separuhnya kami jadikan alas duduk dan separuhnya lagi kami buat selimut dan ada sebuah mangkuk yang kami gunakan untuk minum".Maka baginda bersabda kepadanya: "Bawakan kedua-dua benda itu kepada saya". Lalu dibawanya kedua-dua barang itu, kemudian Nabi tunjukkan barang itu kepada orang yang berada di sisi baginda kalau ada sesiapa yang hendak membelinya. Akhirnya baginda dapat menjualnya dengan harga dua dirham dan diberikan wang tersebut kepada lelaki itu sambil baginda berkata: "Belilah makanan untuk keluargamu dengan satu dirham manakala satu dirham lagi belikanlah sebilah kapak". Kemudian Rasulullah (s.a.w) meminta lelaki itu datang lagi, lalu lelaki itupun datang dan baginda telah membubuhkan hulu kapak itu dan menyuruh lelaki itu pergi mencari kayu api sambil baginda mengatakan kepada lelaki itu supaya lelaki itu tidak akan berjumpa lagi dalam masa 15 hari. Lelaki itu pergi dan kembali lagi selepas 15 hari sambil membawa datang 10 dirham, lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah, Allah telah memberkati saya pada kerja yang tuan suruh saya itu." Maka baginda Rasulullah (s.a.w) bersabda: "Itu adalah lebih baik daripada anda datang pada hari kiamat kelak sedang pada muka anda bertanda kerana meminta-minta.
Berdasarkan banyak hadis mengenai perkara ini, para ulama membuat kesimpulan bahawa larangan meminta-minta itu bukanlah sekedar perintah bersifat akhlak saja bahkan orang yang menjadikan kerja meminta-minta itu sebagai "profesional", handaklah dikenakan hukuman yang pantas.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Hak milik adalah kekuasaan seseorang terhadap sesuatu atau terhadap suatu barang dan mempunyai kebebasan bertindak secara bebas terhadap barang tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri maupun dengan perantara orang lain.
Hak milik, Pendapatan dan kerja ini merupakan suatu hal yang saling berkaitan dan ketergantungan di mana seseorang akan mendapatkan pendapatan ketika mereka sudah bekerja, melakukan suatu usaha dengan sungguh-sungguh dan kerja keras. Sehingga setelah kerja dan mendapatkan penghargaan berupa pendapatan atau upah maka mereka dapat membeli sesuatu yang berguna untuk kehidupan mereka. Sehingga semua barang tersebut dapat menjadi hak milik orang yang sudah membelinya dengan hasil keringat, kerja keras mereka sendiri.
Sehingga apabila seseorang yang tidak memiliki kerja, otomatis mereka tidak memiliki pendapatan dan mereka tidak bisa membeli sesuatu. Sehingga jika mereka tidak memiliki pendapatan, bisa saja mereka melakukan kejahatan karena sudah terpaksa. Akhirnya segala cara dilakukan untuk medapatkan uang. Dari sini juga bisa disimpulkan bahwa kejahatan meningkat karena pengangguran, seseorang tersebut tidak bekerja, tidak memiliki pendapatan, dan tidak memiliki hak atas sesuatu contohnya barang.
B.     Saran
Dengan penjelasan di atas diharapkan kepada para pembaca untuk dapat memahami dan mampu untuk mengaplikasikannya. Juga dapat memberikan saran kepada penulis terkait makalah ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar